
Ketika mendengar nama Partai Komunis Indonesia (PKI), mayoritas orang Indonesia akan menghubungkan dengan peristiwa pemberontakan yang membunuh banyak jenderal TNI. Padahal, ada juga tokoh PKI seperti Wikana yang tidak ikut serta dalam peristiwa pemberontakan itu. Jika ingin mengenal sosoknya lebih dekat, cek biografi Wikana di artikel ini.
- Nama
- Wikana
- Tempat, Tanggal Lahir
- Sumedang, 18 Oktober 1914
- Menghilang
- 1966
- Istri
- Asminah binti Oesman (1940–1966)
- Anak
- Lenina Soewarti Wiasti Wikana Putri
Temo Zein Karmawan Soekana Pria
Tati Sawitri Apramata
Kania Kingkin Pratapa
Rani Sadakarana
Remondi Sitakodana - Orang Tua
- Raden Haji Soelaiman (Ayah)
Tidak banyak buku biografi yang membahas nama Wikana. Seandainya ada biografi yang menuliskan nama tersebut, biasanya hanya disebutkan sebagai salah satu tokoh PKI saja.
Padahal, Wikana termasuk salah satu pemuda yang mendorong Soekarno dan Hatta untuk segera melakukan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Ia menjadi salah satu pemuda yang menculik kedua tokoh kemerdekaan itu. Insiden penculikan itu kini dikenal dengan istilah peristiwa Rengasdengklok.
Selain itu, Wikana juga pernah menjadi Menteri Negara Urusan Pemuda pada Kabinet Syahrir dan Kabinet Amir Sjariffuddin. Namun, semua jasa-jasanya itu seolah tak ada gunanya. Pada peristiwa pemberontakan PKI, ia difitnah kemudian ditangkap oleh pemerintah Indonesia.
Ingin mengenal lebih dekat tokoh PKI yang memiliki peran dalam kemerdekaan Indonesia yang satu ini? Simak biografi Wikana yang sudah kami siapkan di artikel ini. Selamat membaca!
Kehidupan Pribadi
Sebelum mengetahui apa saja jasa-jasa Wikana untuk Indonesia pada biografi ini, Anda perlu mengetahui kehidupan pribadinya terlebih dahulu. Di sini Anda bisa mengetahui tentang keluarganya dan sekolah tempatnya belajar.
1. Keluarga Wikana
Wikana sebenarnya terlahir dari keluarga menak Sumedang. Keluarga tersebut termasuk golongan bangsawan yang mendapatkan hak istimewa dari pemerintah Hindia Belanda.
Wikana adalah putra dari Raden Haji Soelaiman, seorang pendatang dari Demak, Jawa Tengah. Meskipun diketahui sebagai keturunan menak Sumedang dari ibunya, tapi tak ada satu pun biografi Wikana yang menyebutkan nama ibu kandungnya.
Anak ke-14 dari 16 bersaudara ini dilahirkan di Sumedang pada tanggal 18 Oktober 1914. Salah satu kakaknya yang bernama Wiranta adalah seorang Digoelis, yaitu orang-orang yang pernah dibuang di Boven Digoel.
Wiranta juga pernah menulis novel berjudul Antara Hidup dan Mati atau Buron dari Boven Digoel. Dari kakaknya itulah Wikana mulai mempelajari tentang dunia perpolitikan dan komunisme.
2. Masa Sekolah
Sebagai keturunan keluarga menak Sumedang, ada beberapa hak istimewa yang didapatkan oleh Wikana, salah satunya adalah seputar pendidikan. Ia bisa menempuh pendidikan di sekolah-sekolah yang cukup bergengsi.
Pendidikan pertamanya didapatkan di Europeesch Lagere School (ELS), sebuah sekolah dasar yang mewajibkan setiap siswanya bisa berbahasa Belanda. Semasa sekolah, Wikana dikenal sebagai seorang siswa yang memiliki otak encer.
Setelah lulus dengan dengan nilai yang cukup baik, ia melanjutkan pendidikannya ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) yang setingkat dengan sekolah menengah pertama. Selama sekolah, ia pernah menjadi anak didik Soekarno di Bandung bersama Asmara Hadi, Soepeno, Sukarni, Goenadi, dan SK. Trimurti. Saat itu, ia juga sering menulis untuk koran Fikiran Rakjat, sebuah surat kabar yang diasuh oleh Soekarno.
Kesukaannya membaca dan belajar membuatnya mulai rutin mempelajari bahasa-bahasa asing. Dengan ketekunannya, ia berhasil menguasai bahasa Jerman, Inggris, Rusia, dan Perancis ketika lulus sekolah.
Baca juga: Biografi Nyi Ageng Serang, Pahlawan Wanita dari Grobogan yang Merupakan Ahli Strategi Perang
Perjuangan dalam Kemerdekaan Indonesia
Sumber: Wikimedia Commons
Setelah membaca tentang kehidupan pribadi Wikana dalam biografi ini, Anda perlu mengetahui usahanya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sebagai seorang remaja yang aktif dan cerdas, ia banyak bergabung dengan badan-badan pemuda dan menjadi salah satu pendorong terjadinya proklamasi kemerdekaan.
1. Awal Perjuangan
Perjuangannya untuk kemerdekaan dimulai sejak ia bergabung dengan Angkatan Baru Indonesia (Menteng 31) dan Gerakan Rakyat Baru. Di dua organisasi tersebut, ia mulai mempelajari lebih dalam seputar ideologi politik bersama pemuda-pemuda Indonesia lainnya. Sayangnya, kedua organisasi tersebut dibubarkan oleh pemerintah Jepang pada tahun 1943 karena dianggap mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip Jepang.
Selain bergabung dengan Angkatan Baru Indonesia dan Gerakan Rakyat Baru, Wikana juga bergabung dan aktif di Partai Komunis Indonesia (PKI). Karena dulu pada masa penjajahan Belanda aktivis komunis masih menjadi buruan, maka PKI bergerak secara ilegal. Saat itu, ia memimpin PKI bawah tanah di Jawa Barat dan bersahabat dengan seorang tokoh PKI di Jakarta bernama Widarta.
Sebagai pemimpin PKI di Jawa Barat, ia aktif mendukung penerbitan koran Menara Merah dan menjadi agen utama penyebarannya di Jawa Barat. Saat itu ia berkoordinasi dengan salah satu tokoh PKI bernama Pamoedji. Sayangnya, pada bulan Juni 1940, pemerintah Hindia Belanda mengetahui peredaran koran tersebut, kemudian menangkap para aktivisnya, seperti Wikana, Ad Mali, dan Pandu Kartawiguna.
Selain menjadi agen Menara Merah, ia juga bergabung dan aktif di organisasi-organisasi politik yang melawan Belanda karena prinsip anti kolonialisme yang dianutnya. Salah satunya adalah Partai Indonesia (Partindo) yang didirikan oleh Mr. Sartono pada tahun 1931.
Pada tahun 1935, Wikana pindah ke Surabaya dan menjadi pemimpin surat kabar mingguan Pedoman Masjarakat Baroe. Pada tahun 1938, dia pindah kembali ke Jakarta dan memimpin surat kabar harian Kebangoenan. Di tahun yang sama, ia diangkat sebagai Penulis Umum II di Partai Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo)
Ketika Gerindo membentuk Barisan Pemuda Gerakan Rakyat Indonesia pada bulan Juli 1938, ia langsung terpilih sebagai ketua pertama. Sayangnya, pada tahun 1939, posisi itu digantikan oleh Ismail Widjaja karena Wikana dianggap terlalu radikal dan bisa membahayakan kelangsungan perjuangan Gerindo.
Pada bulan Oktober 1944, ia bergabung dengan Angkatan Laut Jepang melalui Asrama Indonesia Merdeka yang dibentuk oleh Laksamana Tadashi Maeda. Saat itu, Wikana menyembunyikan jati dirinya dengan nama samaran Raden Sunoto.
Meskipun masih di bawah bendera Jepang, prinsip yang diajarkan di Asrama Indonesia Merdeka adalah untuk menciptakan generasi pemimpin Indonesia merdeka. Dari sanalah Wikana berkenalan dan dekat dengan Laksamana Maeda.
2. Peristiwa Rengasdengklok
Menjelang kemerdekaan Indonesia, terjadi perundingan alot antara para pemuda dan golongan tua. Saat itu para pemuda mendesak golongan tua untuk segera mempercepat proklamasi kemerdekaan.
Pada tanggal 15 Agustus 1945, Wikana, DN Aidit, Suroto Kunto, dan Soebadio Sastrosatomo mendatangi rumah Soekarno di Pegangsaan Timur. Para pemuda itu memaksa Bung Karno untuk segera mengumumkan kemerdekaan Indonesia secepatnya.
Wikana bahkan mengancam kalau akan terjadi pertumpahan darah jika proklamasi tidak segera dilaksanakan. Bung Karno yang merasa tersinggung langsung membentaknya lalu menantang untuk segera menyembelih leher sang calon presiden.
Namun, Soekarno dan Hatta yang termasuk dalam golongan tua tetap saja bergeming. Mereka tetap beranggapan kalau proklamasi harus dilakukan melalui PPKI agar tidak terjadi pertumpahan darah antara rakyat Indonesia dengan pemerintah Jepang.
Pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 03:00 pagi, Soekarno dan Hatta dibawa ke Rengasdengklok, Karawang. Saat itu, Wikana bersama Chaerul Saleh dan Sukarni menyebutkan kalau pasukan tentara Jepang yang bernama PETA (Pembela Tanah Air) dan Heiho (Pembantu Prajurit Jepang) berniat melakukan pemberontakan. Namun, faktanya tidak ada pemberontakan yang pernah terjadi saat itu.
Beberapa orang seperti Ahmad Soebardjo dan Laksamana Maeda sempat mengira kalau Angkatan Darat Jepang menangkap Soekarno dan Hatta. Untungnya, asisten Laksamana Maeda yang bernama Nishijima menemukan Wikana di Asrama Indonesia Merdeka kemudian memaksa untuk memberitahu keberadaan Soekarno dan Hatta. Setelah melalui perdebatan panjang dan jaminan kalau Nishijima dan Maeda akan benar-benar membantu mengumumkan proklamasi, akhirnya ia berjanji akan mengatur kepulangan kedua Bapak Proklamasi itu.
Meskipun janji tersebut dibuat oleh Wikana, tapi akhirnya yang menjemput Soekarno dan Hatta dari dari Rengasdengklok adalah Kunto dan Achmad Soebardjo. Di Jakarta, ia berusaha mempersiapkan pelaksanaan proklamasi kemerdekaan Indonesia.
3. Setelah Indonesia Merdeka
Sesudah Indonesia merdeka, kariernya semakin maju. Sejak tanggal 27 Agustus 1945, ia bergabung dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dan menjadi pengurus. Sayangnya, partai tersebut tidak bertahan lama.
Pada tanggal 1 September 1945, para pemuda membentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API) dan Wikana langsung diangkat sebagai ketua. Organisasi tersebut berperan penting dalam aksi perebutan perusahaan Belanda di awal-awal masa revolusi, salah satunya adalah Perusahaan Jawatan Kereta Api.
Pada Kongres Pemuda Indonesia di Yogyakarta yang diadakan pada tanggal 10–11 November 1945, beberapa organisasi pemuda, termasuk API, sepakat untuk melebur menjadi Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Kali ini Wikana ditunjuk menjadi wakil ketua.
Selain aktif di organisasi kepemudaan, Wikana juga aktif di pemerintahan. Pada Kabinet Syahrir II dan III, Perdana Menteri Sutan Syahrir menunjuknya sebagai Menteri Negara Urusan Pemuda. Ketika kabinet tersebut jatuh dan digantikan oleh Kabinet Amir, ia menduduki posisi Menteri Pemuda.
Ia juga sempat dipercaya menjadi Gubernur Militer di wilayah Surakarta. Namun, ketika terjadi peristiwa Madiun 1948, ia dicopot dari jabatan itu dan digantikan oleh Gatot Subroto.
Pada tahun 1953, Wikana sempat bergabung menjadi anggota Konstituante. Kemudian pada kongres PKI ke-4, ia bergabung dengan CC-PKI (Comite Central Partai Komunis Indonesia).
Saat itu, CC-PKI yang dipimpin oleh DN Aidit, Njoto, dan Lukman tengah melakukan proses revitalisasi. Karena Wikana dianggap sebagai orang tua yang tidak bisa mengikuti perkembangan zaman, pendapatnya pun tak lagi dianggap.
Setelah diisolir dan tidak lagi mendapat tempat di PKI, ia menjadi hidup dalam kesengsaraan. Ia pindah rumah ke Jalan Dempo di daerah Simpangan Matraman Plantsoen yang padat dan kumuh.
Beruntung, pada tahun 1965, Chaerul Saleh mengangkatnya sebagai anggota MPRS. Dengan posisi itu, kehidupannya menjadi semakin membaik.
Baca juga: Biografi Martha Christina Tiahahu, Pejuang Wanita yang Tak Takut Angkat Senjata
Peristiwa Pemberontakan PKI
Sumber: Wikimedia Commons
Salah satu peristiwa yang cukup menghebohkan Indonesia adalah Gerakan 30 September/PKI yang disingkat menjadi G30S/PKI atau Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh). Pada peristiwa yang terjadi pada malam 30 September hingga 1 Oktober 1965 itu, banyak tokoh PKI yang dituduh telah membunuh jenderal-jenderal TNI, termasuk Wikana. Oleh karena itu, ada baiknya peristiwa tersebut dibahas di biografi Wikana ini.
Pada tanggal 1 Oktober 1965, Wikana bersama beberapa tokoh PKI pergi ke Beijing untuk menghadiri perayaan Hari Nasional Tiongkok. Mendadak mereka mendengar kabar tentang insiden penculikan dan pembunuhan tujuh perwira Angkatan Darat di Indonesia.
Saat itu, PKI menjadi kambing hitam yang melakukan pembunuhan tersebut. Ia kemudian meminta para tokoh PKI itu untuk tenang di Beijing sambil menunggu kepastian dari berita tersebut. Ketika pulang dari Beijing pada tangagl 10 Oktober 1965, ia langsung dibawa oleh tentara Indonesia ke KODAM Jaya.
Baca juga: Biografi Tan Malaka, Pahlawan Nasional Indonesia yang Dieksekusi Tentara Bangsanya Sendiri
Kisah Asmara Wikana
Sumber: Youtube – metrotvnews
Hal selanjutnya yang perlu kamu ketahui di biografi Wikana ini adalah seputar keluarga kecilnya. Karena, keluarganya itulah yang selalu menjadi penyemangatnya di kala susah.
Pada tahun 1940, Wikana menikah dengan seorang gadis dari Sunter yang bernama Asminah binti Oesman. Pernikahan tersebut diadakan di Kemayoran dan didatangi oleh sahabat dekatnya.
Dari pernikahan tersebut, keduanya dikaruniai enam anak, yaitu Lenina Soewarti Wiasti Wikana Putri, Temo Zein Karmawan Soekana Pria, Tati Sawitri Apramata, Kania Kingkin Pratapa, Rani Sadakarana, dan Remondi Sitakodana.
Wikana sangat suka membaca buku dan selalu menghadiahkan buku pada anaknya yang berulang tahun. Ia akan membawa anaknya ke toko buku lalu membiarkan mereka memilih sendiri buku yang disukai.
Menariknya, ada sebuah pesan Wikana yang selalu ditekankan pada anak-anaknya khusus yang perempuan, yaitu jangan pernah menikah dengan pejuang kemerdekaan. Alasannya adalah karena ia menyadari bahwa risiko perjuangan yang telah dilakukannya membuat keluarganya menjadi hidup susah. Namun, ia melanjutkan pesannya, kalau anak-anak perempuannya bisa kuat seperti istrinya yang selalu setia mendampingi, ia tak masalah.
Baca juga: Biografi Abdul Haris Nasution, Jenderal Angkatan Darat yang ‘Disingkirkan’ Soeharto
Hasil Karya
Sebagai seseorang yang pernah memiliki peran penting dalam proses menuju kemerdekaan dan pemerintahan, Wikana sempat menulis buku sehubungan dengan prinsip-prinsip yang dipegangnya. Beberapa di antaranya dapat Anda ketahui biografi Wikana ini.
Meskipun aktif di banyak organisasi, ia tetap aktif menulis. Bahkan, berdasarkan penuturan salah satu putrinya yang bernama Tati, hal pertama yang ia lakukan ketika sampai di rumah adalah membaca, menulis, dan mengetik. Ketika melakukan aktivitas itu, ia bisa menjadi terlalu fokus sampai lupa makan.
Seluruh karyanya selalu menyebarkan gagasan tentang semangat pergerakan dan komunisme. Di antara karya tersebut adalah Organisatie, Pengoempoelan Boeah Pena (1947), Dokumentasi Pemuda Sekitar Proklamasi Indonesia Merdeka bersama DN Aidit, Legiono (1948), Satu Dua Pandangan Marxisme (1949).
Baca juga: Biografi Sultan Ageng Tirtayasa, Pahlawan Nasional Asal Banten yang Dikudeta Putranya Sendiri
Akhir Hayat Wikana
Sumber: Instagram – gerbangsejarah
Tidak mudah membicarakan akhir hayat Wikana dalam biografi ini. Karena sebenarnya ia menghilang pada tahun 1966 kemudian sosok ataupun jenazahnya tidak pernah ditemukan hingga artikel ini diterbitkan. Tidak seperti Tan Malaka yang jenazahnya dicari oleh sejarawan bernama Harry Albert Poeze, nama Wikana sepertinya tak banyak dikenal oleh para sejarawan.
Peristiwa menghilangnya Wikana terjadi satu tahun setelah terjadinya G30S. Saat itu, ia ditangkap kemudian bermalam di penjara KODAM Jaya. Keesokan harinya, ia dipulangkan kembali ke rumahnya.
Namun, tak lama segerombolan tentara tak dikenal datang ke rumahnya di Jalan Dempo No. 7A, Matraman, Jakarta Timur. Mereka membawanya entah kemana dan tak pernah ada kabarnya lagi.
Sejak saat itu, sebenarnya anak-anak Wikana bukannya berdiam diri saja. Beberapa kali mereka sempat menemui Adam Malik, Asmara Hadi, dan Chairul Saleh untuk menanyakan perihal keberadaan bapaknya. Namun, usaha itu tidak ada hasil sama sekali.
Baca juga: Biografi Ahmad Yani, Pahlawan Revolusi yang Cemerlang di Bidang Militer Sejak Muda
Mengenal Lebih Dekat Sosok Pejuang Kemerdekaan di Biografi Wikana
Setelah membaca biografi Wikana di artikel ini, apakah Anda semakin mengenal sosoknya? Apakah Anda semakin mengetahui kalau ia bukanlah sekadar tokoh PKI yang tidak memiliki peran apa-apa? Adakah inspirasi yang Anda dapatkan dari artikel ini?
Setelah semakin mengenalnya, cobalah untuk memperkenalkan sosoknya pada orang-orang terdekat Anda. Harapannya adalah agar namanya semakin dikenal oleh orang-orang Indonesia dan tidak menghilang begitu saja. Akan menjadi lebih baik lagi jika suatu saat nasibnya bisa seperti Tan Malaka, di mana makamnya dapat ditemukan.
Karena bagaimanapun juga, ia memiliki peran penting dalam proses menuju kemerdekaan Indonesia. Bahkan, seorang aktivis Indonesia ternama, Soe Hok Gie sampai menyebutkan dalam skripsinya yang berjudul Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan (1969), kalau tanpa Wikana, Proklamasi Indonesia mungkin tak akan berjalan lancar.
Jika Anda ingin mencari biografi tokoh-tokoh yang menginspirasi selain Wikana, cek artikel lain di kanal Tokoh website PosBagus.com ini. Anda bisa mendapatkan biografi diplomat Indonesia yang menguasai sembilan bahasa, perdana menteri pertama Indonesia, pencipta lagu Indonesia Raya, dan masih banyak lagi.