
Sutan Syahrir adalah perdana menteri pertama Indonesia yang memiliki peran cukup besar dalam kemerdekaan Indonesia. Ia bahkan orang pertama yang memaksa Ir. Soekarno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan. Kalau ingin mengetahui jasa Sutan Syahrir dan kisah hidupnya, simak biografi di bawah ini.
- Nama
- Sutan Syahrir
- Tempat, Tanggal Lahir
- Padang Panjang, 5 Maret 1909
- Meninggal Dunia
- Zurich, 9 April 1966
- Profesi
- Politikus, Perdana Menteri Indonesia, Menteri Dalam Negeri Indonesia, Menteri Luar Negeri Indonesia
- Orang Tua
- Mohammad Rasad (Ayah), Puti Siti Rabiah (Ibu)
- Pasangan
- Maria Johanna Duchateau (m. 1932–1948), Siti Wahyunah (m. 1951–1966)
- Anak
- Kriya Arsyah, Siti Rabiyah Parvati
Di antara orang terdekatnya, Sutan Syahrir sering dipanggil Bung Kecil karena memiliki perawakan yang cukup kecil, yaitu tinggi badan 155 cm dan berat sekitar 45 kg. Meskipun begitu, seperti yang akan dibahas dalam biografi ini, Sutan Syahrir memiliki banyak jasa dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Sebelum Indonesia merdeka, Syahrir melakukan berbagai macam cara untuk memproklamasikan kemerdekaan. Ia bahkan memberanikan diri menyembunyikan radio dari tentara Jepang demi mendapatkan informasi apa pun yang bisa mengarahkan Indonesia menuju kemerdekaan.
Kemudian setelah Indonesia akhirnya merdeka, perjuangan Sutan Syahrir untuk negeri ini tidak berhenti sampai di situ. Dengan jabatannya di jajaran pemerintahan Indonesia, ia berusaha melakukan perjanjian dengan berbagai negara untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Sayangnya, banyak rakyat Indonesia yang salah paham kemudian menculiknya.
Semakin penasaran dengan kisah Bung Kecil yang cerdas ini? Simak biografi Sutan Syahrir yang sudah kami siapkan di artikel ini. Di sini Anda bisa mengetahui kisah pribadinya, jasa-jasanya untuk Indonesia, hingga akhir hayatnya. Selamat membaca!
Kehidupan Pribadi
Sumber: Wikimedia Commons
Sebelum membaca tentang jasa-jasa Sutan Syahrir dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di biografi ini, Anda perlu mengetahui tentang kehidupan pribadinya. Mulai dari latar belakang keluarganya, masa kecilnya, pendidikannya, hingga kisah cintanya.
1. Masa Kecil
Pria yang lahir di Padang Panjang, Sumatra Barat, 5 Maret 1909 ini adalah putra dari pasangan Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan bin Soetan Leman gelar Soetan Palindih dan Puti Siti Rabiah. Ayahnya adalah penasehat Sultan Deli dan seorang kepala jaksa (landraad) yang disegani di Medan.
Syahrir memiliki seorang kakak laki-laki bernama Sutan Noer Alamsyah. Selain itu, ia memiliki saudara perempuan satu ayah yang juga seorang aktivis dan wartawan wanita terkenal bernama Siti Rohana Kudus.
Sejak kecil, Syahrir dikenal memiliki perawakan yang lebih kecil dibandingkan teman sepantarannya. Sikapnya yang pandai bergaul dan tabiatnya yang lemah lembut membuat Syahrir memiliki banyak teman.
2. Masa Sekolah
Sutan Syahrir beruntung bisa mendapatkan pendidikan yang baik di Europesche Langere School (Sekolah Dasar Belanda) di Medan. Setelah lulus, ia melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs/MULO (Sekolah Menengah Pertama Belanda).
Lulus dengan nilai yang cukup baik membawa Syahrir merantau ke Bandung dan melanjutkan pendidikannya ke AMS/Algemeene Middelbare School jurusan Budaya. Di sekolah, ia bergabung dengan Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis). Perannya di teater itu adalah sebagai sutradara, penulis skenario, dan aktor.
Tak hanya aktif di teater, ketika masih berusia 19 tahun, ia juga mendirikan sebuah badan pendidikan yang ia beri nama Tjahja Volksuniversiteit (Cahaya Universitas Rakyat). Badan pendidikan itu merupakan sebuah kursus yang mengajarkan tentang baca tulis, berhitung, bahasa asing, dan politik.
Ia menunjuk Subagio, seorang pelaut Indonesia yang pandai berbahasa Inggris untuk menjadi direktur dan guru. Untuk membiayai badan pendidikan itu, Syahrir tidak malu mengamen di hotel khusus tamu Eropa bernama Hotel De Boer (kini bernama Hotel Natour Dharma Deli).
Saat itu, ia juga termasuk satu dari sepuluh pendiri organisasi kepemudaan yang bernama Jong Indonesia (Pemuda Indonesia). Organisasi itu mendorong diselenggarakannya Kongres Pemuda Indonesia pada tahun 1928 yang akhirnya mencetuskan Sumpah Pemuda.
Setelah lulus, ia berangkat ke Belanda pada tahun 1929. Di Belanda, ia kuliah di Fakultas Hukum di Universitet Amsterdam. Di sana, ia mulai mendalami sosialisme secara ekstrim dan bekerja di Sekretariat Federasi Buruh Transportasi Internasional. Selain itu, ia juga aktif dalam organisasi Perhimpunan Indonesia yang saat itu dipimpin oleh Mohammad Hatta.
Di awal tahun 1930, pemerintah Hindia Belanda tengah gencar melakukan aksi razia pada organisasi-organisasi pergerakan nasional dan memenjarakan para pemimpin organisasi. Karena khawatir hal tersebut akan menurunkan semangat rakyat Indonesia, Syahrir memutuskan untuk menghentikan kuliahnya dan kembali ke Indonesia.
3. Pernikahan
Selama di Belanda, Syahrir tinggal satu apartemen bersama aktivis keturunan Yahudi yang bernama Sal Tas, Maria Johanna Duchateau, dan dua anak mereka. Selain itu, ada juga teman Maria yang bernama Judith van Wamel. Ketika itu, Syahrir mulai menjalin hubungan dengan Maria.
Meskipun terdengar salah, tapi saat itu sebenarnya pernikahan Maria dan Sal tengah retak. Kedekatan Sal dengan Judith membuat Maria semakin yakin jatuh cinta pada sosok Syahrir yang cerdas, tenang, dan humoris. Syahrir pun merasakan hal yang sama pada Maria. Menariknya, kedekatan dengan Maria tidak merusak hubungan persahabatan Syahrir dengan Sal.
Sutan Syahrir dan Maria memiliki panggilan kesayangan satu sama lain, yaitu Mieske untuk Maria dan Sidi untuk Syahrir. Setelah Syahrir kembali ke Indonesia dan Maria resmi bercerai, mereka menikah di sebuah masjid di Medan pada tanggal 10 April 1932. Selama di Medan, mereka sering sekali berlibur ke tempat-tempat yang didatangi orang Belanda sehingga menjadi bahan gunjingan orang-orang.
Masalah-masalah yang muncul membuat pihak berwenang di Medan menyatakan pernikahan Sidi dan Mieske dibatalkan pada tanggal 5 Mei 1932. Mieske lalu dideportasi ke Belanda, tapi Syahrir tidak bisa menyusulnya karena ditahan dan dibuang ke Boven Digoel.
Mereka hanya bisa saling berkirim surat hingga Perang Dunia II dan Perang Kemerdekaan memutuskan kontak mereka. Keduanya kembali bertemu ketika Syahrir diundang ke New Delhi sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia pada tahun 1947.
Saat itu keduanya sudah tidak saling jatuh cinta dan Syahrir hanya mencium pipi Maria. Pada tahun 1948, mereka berdua memutuskan untuk berpisah dan menjalani hidup masing-masing.
Setelah perpisahan dengan istri pertamanya, Syahrir dekat dengan sekretarisnya yang bernama Siti Wahyunah Saleh atau Poppy. Pada bulan Mei 1951, Syahrir dan Poppy melangsungkan pernikahan. Dari pernikahan itu, ia dikaruniai dua anak, yaitu Kriya Arsyah dan Siti Rabyah Parvati.
Baca juga: Biografi Ibnu Sina, Bapak Kedokteran Modern yang Dituduh Atheis
Pengasingan Sutan Syahrir
Sumber: Instagram – historia_indonesia
Biografi Sutan Syahrir ini tentu saja tidak akan lengkap jika tidak membicarakan masa-masa pengasingannya. Karena selama berada di pengasingan itu, Syahrir memiliki banyak waktu untuk merenung dan membuat banyak karya yang berisi pemikirannya.
1. Pengasingan di Boven Digoel, Papua
Pada tanggal 23 Januari 1935, Sutan Syahrir bersama beberapa tokoh yang dianggap memberontak diasingkan oleh pemerintah Hindia Belanda ke Tanah Merah, Boven Digoel. Karena saat itu Boven Digoel adalah tanah pengasingan yang tidak memiliki apa-apa selain hutan lebat, sesampainya di sana Sjahrir langsung menebang kayu untuk membangun rumahnya sendiri.
Sosok Syahrir yang ekstrovert dan penuh semangat langsung berubah menjadi lebih diam. Ia bahkan sering pergi ke rumah Hatta, Dr. Tjipto, dan tokoh-tokoh lainnya di tengah malam dengan alasan meminta gula, garam, minyak, atau yang lainnya, padahal sebenarnya ia hanya mencari teman mengobrol. Karena kelakuannya itu, Hatta dan tokoh-tokoh lainnya memberikan panggilan khusus untuk Syahrir, yaitu Kelana Jenaka.
2. Pengasingan di Banda Neira, Maluku
Satu tahun kemudian, pemerintah Hindia Belanda khawatir kalau pengasingan Syahrir dan Hatta di Boven Digoel membuat rakyat marah dan memberontak. Kedua tokoh revolusi itu pun langsung dipindahkan ke tempat pengasingan yang lebih manusiawi, yaitu Banda Neira, Maluku, pada tanggal 2 januari 1936.
Di sana, setiap sore Syahrir dan Hatta mengajar berbagai macam pelajaran untuk anak-anak Banda menggunakan bahasa Belanda. Mereka tak hanya mengajarkan pelajaran dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung, tapi juga tentang patriotisme. Mereka mengajarkan kalau Teuku Umar dan Diponegoro adalah pahlawan yang menentang penjajah, bukan pemberontak seperti yang banyak disebutkan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Syahrir sering mengajak beberapa anak untuk naik perahu ke Pulau Pisang, beberapa kilometer dari Banda Neira untuk mengajari cara menyanyikan Indonesia Raya. Untuk mengenang hal itu, Pulau Pisang kini memiliki nama Pulau Syahrir.
Dibandingkan Hatta yang lebih suka membaca buku untuk menghabiskan waktu, Syahrir lebih suka mendengarkan alunan musik klasik menggunakan gramofon. Hatta yang sering merasa terganggu biasanya langsung menegur Des Alwi, salah satu dari tiga anak angkat Syahrir, dan mengatakan kalau lagu itu terlalu kebarat-baratan. Menariknya, ketika Alwi melaporkan ucapan Hatta, Syahrir merespon dengan tawa dan sindiran kalau Hatta sendiri bermimpi dengan bahasa Belanda.
Baca juga: Biografi Buya Hamka, Sosok Sastrawan yang Jadi Ketua Pertama Majelis Ulama Indonesia
Perjuangan untuk Kemerdekaan Indonesia
Sumber: Wikimedia Commons
Biografi Sutan Syahrir ini tak akan lengkap jika tidak membicarakan tentang perjuangannya selama kemerdekaan Indonesia. Apalagi jika tanpa dorongan dari Syahrir, mungkin Indonesia tak akan merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.
1. Selama Masa Pendudukan Jepang
Setelah Belanda keluar dari Indonesia dan digantikan oleh Jepang, Soekarno dan Hatta memutuskan untuk menjalin kerja sama dengan Negeri Sakura itu. Namun, saat itu Syahrir cukup yakin kalau Jepang tak akan memenangkan perang Asia Pasifik, sehingga ia menyiapkan kaum pergerakan untuk merebut kemerdekaan ketika waktunya tiba. Kaum pergerakan itu terdiri dari kader-kader PNI Baru dan mahasiswa.
Tugas kaum pergerakan itu adalah mengumpulkan orang-orang yang sama-sama memiliki cita-cita untuk kemerdekaan Indonesia sembari menyusun kekuatan. Mereka pun terus berusaha mencari informasi tentang saat yang tepat untuk merebut kekuasaan dari tangan pemerintahan Jepang.
2. Proses Menuju Kemerdekaan Indonesia
Di antara Soekarno dan Syahrir, selalu ada ketidaksepakatan tentang proklamasi Indonesia. Soekarno masih merasa ragu-ragu dan masih ingin melalui prosedur yang sah, sementara Syahrir sudah merasa tak sabar.
Ketidaksabaran Syahrir itu bukannya tanpa alasan. Ia diam-diam rajin menyimak siaran radio BBC sejak pertengahan tahun 1944. Dari siaran itu, ia mengetahui kalau Jepang sudah mengalami kekalahan. Salah satu tandanya adalah ketika Amerika Serikat menjatuhkan bom ke Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945.
Syahrir semakin memaksa Soekarno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan. Ketika Soekarno menolak ide itu karena masih ingin memastikan kalau Jepang benar-benar kalah terlebih dahulu, Syahrir langsung menghubungi Hatta dan Tan Malaka untuk segera mendesak terjadinya proklamasi. Namun ide itu juga ditolak karena mereka masih menunggu rencana yang sudah ditetapkan oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
Karena merasa kecewa dan tak sabar, Syahrir langsung menghubungi para pemuda di beberapa kota untuk memproklamasikan kemerdekaan. Salah satu yang mendapatkan pesannya adalah Dr. Sudarsono, seorang Kepala Rumah Sakit Kesambi (kini RSUD Gunung Jati) di Cirebon. Dr. Sudarsono diminta untuk membacakan teks proklamasi di Tugu Kejaksan Cirebon.
Pada tanggal 15 Agustus 1945, sekitar 150 orang berkumpul di Tugu Kejaksan untuk mendengarkan Dr. Sudarsono membaca teks proklamasi yang dibuat oleh Syahrir. Setelah itu, para pejuang menyebarkan kabar kemerdekaan itu ke daerah-daerah lain di Cirebon, seperti Kecamatan Waled, Palimanan, dan Plumbon. Oleh karena itu, bisa dibilang kalau Cirebon sudah merdeka pada tanggal 15 Agustus 1945, dua hari sebelum Indonesia merdeka.
Menariknya, ketika Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Syahrir menolak untuk hadir.
Baca juga: Biografi Mahatma Gandhi, Sang Empunya Jiwa Agung yang Cinta Damai
Jabatan Sutan Syahrir setelah Indonesia Merdeka
Sumber: Wikimedia Commons
Hal yang perlu Anda ketahui selanjutnya di biografi ini adalah jabatan-jabatan Sutan Syahrir setelah Indonesia merdeka. Saat itu, Indonesia termasuk negara baru yang masih membutuhkan banyak orang-orang cerdas seperti Syahrir.
Jabatan pertama yang ia sandang adalah perdana menteri, karena ia termasuk orang yang netral dan tidak memihak pada Jepang. Karena saat itu Syahrir masih berusia 36 tahun, ia menjadi perdana menteri termuda di Indonesia, bahkan di dunia. Selain itu, ia juga diangkat sebagai menteri dalam negeri dan menteri luar negeri.
Tak berapa lama, Syahrir juga diangkat sebagai Ketua BP KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat). Tugasnya adalah merancang dan mengubah kabinet presidensil menjadi parlementer. Selama ia menjabat, ia sudah merombak kabinet sebanyak tiga kali, yang kemudian disebut Kabinet Syahrir I, Kabinet Syahrir II, dan Kabinet Syahrir III.
Pada tahun 1947, Sutan Syahrir tak lagi menjadi perdana menteri. Meskipun begitu, ia tetap memperjuangkan kedaulatan Indonesia di forum Internasional dengan menjadi perwakilan Indonesia di PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) bersama Haji Agus Salim.
Di PBB, ia memperjuangkan pengakuan kemerdekaan Indonesia dari negara-negara lain. Ia pun berhasil mematahkan argumen Eelco van Kleffens, perwakilan Belanda untuk PBB. Orang-orang yang hadir saat itu banyak memuji pidato yang diucapkan Syahrir.
Penculikan Sutan Syahrir
Sumber: Wikimedia Commons
Dalam biografi Sutan Syahrir ini, Anda tak hanya perlu mengetahui tentang kejadian pengasingan yang terjadi pada sang perdana menteri, tapi juga penculikannya. Meskipun Syahrir dipilih sebagai perdana menteri karena dianggap sebagai orang yang netral dan tidak akan memihak, tapi tetap saja ada beberapa orang yang merasa kalau ia sering membuat keputusan yang tidak menguntungkan rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, kelompok Persatuan Perjuangan yang dipimpin oleh Mayor Jendral Soedarsono pun merencanakan penculikan pada Sutan Syahrir. Anggota kelompok itu merasa tidak puas dengan diplomasi yang dilakukan oleh pemerintahan Kabinet Syahrir II dengan Belanda.
Pada tanggal 26 Juni 1946, Sutan Syahrir melakukan perjalanan ke Yogyakarta. Ketika Syahrir sedang menginap di Solo, Soedarsono memanfaatkan kesempatan itu untuk menculik dan membawanya ke rumah peristirahatan di Paras, Solo.
Setelah mengetahui kalau Sutan Syahrir diculik, Presiden Soekarno langsung marah dan meminta Perdana Menteri dikembalikan. Soekarno langsung memerintahkan polisi Surakarta untuk menangkap 14 anggota Persatuan Perjuangan dan memasukkan mereka ke penjara Wirogunan.
Pada tanggal 2 Juli 1946, Mayor Jendral Soedarsono memerintahkan tentara Divisi 3 untuk menyerbu penjara itu dan membebaskan anggota Persatuan Perjuangan itu. Ketika mendengar kabar penyerbuan itu, Presiden Soekarno marah dan memerintahkan Letnan Kolonel Soeharto untuk menangkap Soedarsono. Namun, Soeharto menolak karena tidak mau menangkap atasannya sendiri.
Sebagai jalan keluarnya, Soeharto berpura-pura menawarkan perlindungan ke Soedarsono di Markas Resimen III di Wiyoro. Di sisi lain, ia juga memberitahu Presiden Soekarno tentang kedatangan Soedarsono. Akhirnya para penculik itu pun ditangkap pada tanggal 3 Juli 1946 dan Sutan Syahrir dapat kembali bekerja.
Karya-Karya Sutan Syahrir
Sumber: Wikimedia Commons
Topik selanjutnya yang akan dibahas di biografi ini adalah karya-karya Sutan Syahrir. Sebagai seorang pemikir, ia banyak sekali menuliskan pemikiran-pemikirannya yang kemudian dikumpulkan dan diterbitkan.
Selama tahun 1931–1940, Syahrir sering mengirimkan artikel ke beberapa majalah, seperti Daulat Rakyat. Pada tahun 1950, artikel-artikel tulisannya itu disatukan dan diberi judul Pikiran Perjuangan.
Selain itu, ada juga Sosialisme dan Marxisme (1967) yang merupakan kumpulan artikel Syahrir di majalah Suara Sosialis selama tahun 1952–1953. Surat-surat yang Sutan Syahrir kirimkan pada Maria selama tahun 1934 hingga 1938 pun dikumpulkan dan dibukukan dengan format biografi dengan judul Indonesische Overpeinzingen.
Selain kumpulan artikel di majalah, Syahrir juga sempat menerbitkan beberapa buku yang berisi pemikirannya. Beberapa di antaranya adalah Pergerakan Sekerja (1933), Perjuangan Kita (1945), Out of Exile (1949), dan Renungan Indonesia (1951).
Bukunya yang paling terkenal, Perjuangan Kita, berisi tentang permasalahan yang muncul saat revolusi Indonesia. Buku tersebut membuka mata orang-orang tentang apa yang seharusnya dilakukan setelah Indonesia merdeka dan terlihat seolah tengah menyerang Soekarno.
Demikianlah karya-karya Sutan Syahrir yang banyak dibicarakan pada buku-buku biografi. Hasil-hasil pemikirannya itu hingga tahun 2000-an masih sering dijadikan pegangan untuk ilmu Politik dan Sosial.
Akhir Hayat Sutan Syahrir
Sumber: Instagram – lokraofficial
Setelah mengetahui kehidupan pribadi dan jasa-jasa Sutan Syahrir untuk Indonesia di biografi ini, Anda perlu mengetahui tentang akhir hayatnya. Selama berada di rumah tahanan di Madiun, Sutan Syahrir sebenarnya menderita sakit tekanan darah tinggi. Pada tanggal 16 November 1962, ia diangkut ke Jakarta untuk dirawat di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) Gatot Soebroto.
Delapan bulan kemudian, ia dipindahkan ke tempat tahanan di Jalan Keagungan Jakarta. Sayangnya, kesehatannya justru semakin memburuk. Tanggal 9 Februari 1965, ia dipindahkan lagi ke Rumah Tahanan Militer (RTM) di Jalan Budi Utomo Jakarta.
Di sana, penyakitnya membuat Syahrir menjadi semakin menderita. Bahkan, suatu malam ia sampai ditemukan pingsan di dalam kamar mandi. Sayangnya, ia tidak bisa sering-sering dibawa ke rumah sakit karena terbentur prosedur rumah tahanan.
Barulah setelah kondisinya cukup parah hingga lumpuh dan tak bisa bicara ia diperiksakan ke RSPAD. Namun karena sudah terlalu parah, pihak rumah sakit pun menyerah.
Poppy, sang istri, kemudian mengusahakan pengobatan suaminya ke luar negeri. Pada tanggal 21 Juli 1965, Syahrir mendapatkan izin untuk berobat ke Zurich, Swiss, dengan status tahanan politik.
Sayangnya, pada tanggal 9 April 1966 di Zurich, Syahrir menghembuskan napas terakhirnya. Sepuluh hari kemudian, jenazahnya dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Baca juga: Biografi Tung Desem Waringin, Sang Motivator Handal Peternak Uang
Mengenal Sosok Perdana Menteri Pertama Indonesia Melalui Biografi Sutan Syahrir
Setelah membaca biografi di artikel ini, apakah Anda semakin mengenal sosok Sutan Syahrir? Apakah Anda dapat merasakan semangatnya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia?
Setelah mengetahuinya, penting bagi Anda untuk dapat lebih menghargai perjuangan itu. Anda juga perlu mempertahankan kemerdekaan itu dengan cara menunjukkan rasa cinta pada Indonesia.
Jika Anda masih ingin mencari biografi pahlawan-pahlawan selain Sutan Syahrir yang tak kalah menginspirasi, cek kanal Tokoh di website PosBagus.com ini. Anda bisa mendapatkan biografi Tan Malaka, Martha Christina Tiahahu, Abdul Haris Nasution, dan lain sebagainya.