
Sultan Ageng Tirtayasa atau yang memiliki gelar resmi Sultan Abu al-Fath Abdulfattah, merupakan sultan ke-6 Banten yang dikenal adil dan bijaksana. Sayangnya, masa kejayaannya harus berakhir karena dikudeta sang putra yang bekerja sama dengan Belanda. Ingin tahu bagaimana kisahnya? Yuk, simak biografi Sultan Ageng Tirtayasa dalam uraian berikut ini!
Sultan Ageng Tirtayasa adalah salah satu tokoh pahlawan yang benar-benar gigih melawan bangsa Belanda. Jadi, tidaklah mengherankan jika namanya banyak tertera di buku Sejarah. Namun, jika ingin mengetahui kisahnya secara lengkap, berikut kami sajikan biografi Sultan Ageng Tirtayasa khusus untuk Anda.
Berbeda dengan tokoh-tokoh pahlawan nasional, seperti Soekarno dan Sutan Syahrir yang lahir di era akhir-akhir masa kekuasaan Belanda di bumi pertiwi, Sultan Ageng Tirtayasa lahir di masa-masa awal pendaratan Belanda di Indonesia. Ya, tentunya Anda tidak lupa, bukan, bahwa Belanda menjajah negeri ini selama kurang lebih 350 tahun?
Dalam biografi ini kami akan memberikan informasi mengenai kehidupan Sultan Ageng Tirtayasa mulai dari kecil hingga dewasa. Tak hanya itu, ada juga ulasan mengenai sepak terjang raja Kesultanan Banten ini dalam memerangi Belanda.
Semuanya kami sajikan dengan menarik sehingga Anda tak akan merasa bosan untuk menyimaknya sampai akhir. Nah, tak perlu berlama-lama lagi, yuk, segera baca biografi Sultan Ageng Tirtayasa ini sampai selesai!
Kehidupan Pribadi
Pangeran Surya, nama kecil sang sultan, terlahir saat Belanda sedang berusaha menguasai seluruh bumi pertiwi. Penasaran dengan kisah kehidupan pribadinya? Simak terus biografi Sultan Ageng Tirtayasa ini!
Sultan Ageng Tirtayasa lahir dengan nama Pangeran Surya pada tahun 1631 di Kesultanan Banten. Ia merupakan putra dari Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad Kanari dan Ratu Martakusuma. Kakeknya dari pihak ayah adalah Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdul Khadir atau Sultan Agung, sedangkan kakeknya dari pihak ibu adalah Pangeran Jayakarta.
Pangeran Surya memiliki empat saudara kandung, yaitu Ratu Kulon, Pangeran Kilen, Pangeran Lor, dan Pangeran Arya. Selain itu, ada juga saudara-saudara yang berbeda ibu, yaitu Pangeran Wetan, Pangeran Kidul, Ratu Intan, dan Ratu Timpuruk.
Sang ayah, Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad Kanari, menjabat sebagai sultan muda selama periode 1640-1650. Namun, belum sempat naik tahta, ternyata ayah Pangeran Surya ditakdirkan untuk segera menghadap Ilahi. Selanjutnya, Pangeran Surya akhirnya dinobatkan sang kakek, Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdul Khadir, untuk menggantikan ayahnya menjadi sultan muda dengan gelar Pangeran Adipati atau Pangeran Dipati.
Satu tahun setelah pengangkatan Pangeran Surya menjadi sultan muda, tepatnya pada tanggal 10 Maret 1651, Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdul Khadir meninggal. Dengan demikian, maka Pangeran Dipati dinobatkan sebagai Sultan Banten ke-6 dan diberi gelar Sultan Abu al-Fath Abdulfattah.
Sultan Abu al-Fath Abdulfattah memiliki tiga orang istri. Nama istri pertama, tak dituliskan dalam sejarah. Sedangkan istri kedua dan ketiga yang dinikahi setelah sang istri pertama meninggal, masing-masing bernama Nyi Ayu Ratu Gede dan Ratu Nengah.
Asal-Usul Julukan Sultan Ageng Tirtayasa
Mungkin Anda penasaran mengapa artikel ini berjudul biografi Sultan Ageng Tirtayasa, padahal gelar sang sultan adalah Sultan Abu al-Fath Abdulfattah. Jadi begini ceritanya.
Sultan Abu al-Fath Abdulfattah dikenal sebagai sosok raja yang tegas, bijaksana, dan taat beragama. Di bawah kepemimpinannya, Banten menjadi daerah yang maju. Ia juga tak sudi menjalin hubungan dengan Belanda yang hanya mengeruk keuntungan dari bumi pertiwi. Oleh sebab itu, Sultan Abu al-Fath Abdulfattah juga dikenal rakyatnya dengan julukan Sultan Ageng atau yang dalam bahasa Indonesia memiliki arti Sultan Besar.
Nah, pada saat menghadapi konflik dengan Belanda, Sultan Abu al-Fath Abdulfattah mendirikan sebuah istana baru yang tangguh untuk berjaga-jaga menghadapi serangan Belanda. Istana baru yang dibangun sang sultan terletak di dusun Tirtayasa yang saat ini menjadi bagian dari Kabupaten Serang.
Sejak istana yang baru sudah jadi, Sultan Abu al-Fath Abdulfattah lebih memilih tinggal di Tirtayasa daripada di Kesultanan Surosowan. Jadilah sang sultan mendapatkan gelar Sultan Ageng Tirtayasa dari rakyatnya.
Kebijakan-Kebijakan Sultan Ageng yang Anti Belanda
Sultan Ageng ingin membawa Kesultanan Banten ke puncak kejayaan. Oleh sebab itu, ia berusaha keras untuk menjalankan kebijakan-kebijakan yang bermanfaat bagi kemakmuran rakyat Banten.
Beberapa kebijakan yang dikeluarkannya selama memerintah adalah memajukan perdagangan Banten dengan cara meluaskan daerah kekuasaan dan membuat sawah-sawah baru beserta sistem irigasinya. Tak hanya di bidang ekonomi dan perdagangan, Sultan juga ingin bidang keagamaan di wilayahnya maju.
Sebagai upaya untuk mewujudkannya, Sultan mengangkat Syekh Yusuf, seorang ulama asal Makassar, untuk menjadi mufti (ulama yang memiliki wewenang untuk menginterpretasikan teks dan memberikan fatwa kepada umat) kerajaan dan penasehat sultan dalam bidang pemerintahan. Berbagai sarana ibadah dan pembelajaran Islam, seperti masjid dan pesantren pun dibangun Sultan.
Nah, dari sekian banyak kebijakan-kebijakan yang diterapkan Sultan Ageng Tirtayasa, yang bisa dibilang paling berani adalah menentang Belanda habis-habisan. Sultan memiliki misi untuk mengusir Belanda dari tanah Banten dan Batavia. Mengapa Batavia? Karena ia sadar bahwa kedudukan Belanda di Batavia akan berbahaya bagi Banten.
Sebagai langkah awalnya menentang Belanda, Sultan Ageng menolak untuk memperpanjang perjanjian dagang dengan pihak Belanda. Padahal, perjanjian ini sudah ada semenjak kakeknya menjabat sebagai Sultan. Ia justru melakukan hal sebaliknya, yaitu mempersulit kegiatan perdagangan Belanda di Banten.
Sultan Ageng sadar bahwa tindakannya sangat beresiko membuat pihak Belanda marah. Untuk menggalang persatuan, Sultan Ageng berusaha menjalin persahabatan dengan kerajaan lain, seperti Mataram, Demak, dan Cirebon. Sedangkan hubungan persahabatan yang sudah terjalin juga semakin diperkokoh.
Pada akhirnya, perbuatan Sultan membuat Belanda marah sehingga Banten pun diblokade. Pedagang-pedagang yang tadinya mendarat di Banten dipaksa Belanda mendarat di Batavia.
Sepanjang tahun 1656, sering terjadi pertikaian kecil-kecilan antara pihak pasukan Kesultanan Banten dan Belanda. Meski bukan skala besar, pertempuran demi pertempuran ini juga menimbulkan kerugian di kedua belah pihak.
Baca juga: Biografi Steve Jobs, Sosok Pendiri Apple yang Memiliki Ambisi Luar Biasa
Perjanjian Damai yang Gagal
Kemudian pada akhir tahun 1657, pihak Kesultanan Banten dan Belanda melakukan negosiasi atau perjanjian. Belanda mengusulkan agar orang-orang Belanda dari Batavia, termasuk yang sudah disunat (memeluk Islam), yang ditahan di Banten dikembalikan. Sedangkan Banten mengajukan syarat agar kapal-kapalnya bebas berlayar ke Ambon, Perak, dan Ujungpandang untuk kepentingan dagang
Pada 29 April 1658, selain syarat yang sudah disebutkan di atas, Belanda mengajukan persyaratan lain, yaitu Banten harus membayar kerugian perang berupa 500 ekor kerbau dan 1.500 ekor lembu, kapal Belanda yang berlabuh di Banten tidak diperiksa, dan Belanda tidak membayar bea cukai untuk kapalnya yang lewat perairan dan berlabuh di Banten.
Tanggal 4 Mei 1658, Sultan Ageng juga mengajukan syarat tambahan atas perjanjian tersebut. Sang sultan meminta pasukan Kesultanan Banten diperbolehkan tiap satu tahun sekali datang ke Batavia untuk membeli meriam, peluru, mesiu, dan cengkih. Namun, pihak Belanda menolak permintaan Banten sehingga perjanjian damai pun tak jadi tercapai.
Karena itu, pada 11 Mei 1658, Sultan Ageng mengumumkan peperangan terhadap Belanda. Berbagai cara dilakukan sang sultan untuk menjatuhkan Belanda, mulai menyerang dan menghancurkan kapal Belanda hingga merebut daerah Angke yang saat itu dikuasai Belanda.
Demi mengobarkan semangat perang para prajuritnya, Sultan Ageng bahkan sampai menjanjikan hadiah berlimpah berupa kedudukan dan uang untuk siapa saja yang berhasil membunuh opsir Belanda.
Baca juga: Biografi Maria Walanda Maramis, Pejuang Emansipasi Wanita dari Minahasa
Tercapainya Kesepakatan Damai
Peperangan yang dikobarkan Sultan Ageng secara gencar mulai tanggal 11 Mei 1658 tersebut mungkin membuat pihak Belanda lelah. Sehingga, dengan menjadikan Sultan Jambi sebagai perantara, Belanda lagi-lagi menawarkan perjanjian damai yang isinya:
1. Banten akan mengembalikan sapi dan kerbau yang dirampasnya di daerah Belanda;
2. Kapal-kapal Belanda yang menduduki pelabuhan Banten akan ditarik kembali dan perdamaian di darat dan di laut dipelihara bersama;
3. Belanda menempatkan perwakilannya di Banten, dan Sultan Banten harus menyediakan tanah, rumah, beserta penjaganya;
4. Banten membebaskan warga Batavia yang menjadi tahanan di Banten dan sebaliknya, Belanda pun berbuat demikian;
5. Kapal-kapal yang singgah untuk memasok air bersih tidak dipungut bea-cukai;
6. Batas pemisah daerah antara Banten dan Batavia ialah Sungai Untung Jawa mulai dari pantai, laut, hingga di darat melalui pegunungan.
Perjanjian damai tersebut disetujui Sultan Ageng dan disepakati bersama pada 10 Juli 1659. Namun, Sultan Ageng sebenarnya merasa kurang puas dengan isi perjanjian itu karena tidak ada pasal yang menyebutkan bahwa Banten bebas berdagang dengan Ambon. Tak hanya itu, Sultan juga merasa pasal-pasal yang tertera dalam perjanjian tersebut terasa memberatkan.
Meski Belanda sudah diuntungkan dengan perjanjian tersebut, mereka tetap saja ingin menguasai Banten sepenuhnya. Ya, hal ini diketahui Sultan dari perwakilan dagang Inggris. Oleh sebab itu, untuk menanggulangi serangan Belanda, Sultan Ageng membangun istana baru sekaligus benteng di Tirtayasa.
Belanda paham bahwa kekuatan pasukan Banten tidak bisa diremehkan. Terbukti, bangsa mereka beberapa kali dibuat kocar-kacir oleh orang-orang Banten. Karenanya, Belanda menyusun strategi jitu untuk menjatuhkan Banten dengan cara mengadu domba penguasa Kesultanan Banten dengan orang-orang terdekatnya.
Baca juga: Biografi Albert Einstein, Sang Penemu Teori Relativitas
Perseteruan dengan Sultan Haji
Pada masa pemerintahannya, sang putra pertama yang bernama Pangeran Gusti, diangkat menjadi sultan muda. Namun, sebelum melaksanakan tugasnya sebagai sultan muda, Pangeran Gusti dikirim ayahnya ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus meluaskan wawasannya tentang dunia Islam yang sangat bermanfaat untuk perkembangan agama di Banten.
Selama Pangeran Gusti pergi, tugas-tugas sultan muda yang meliputi urusan dalam negeri untuk sementara dipercayakan pada Pangeran Purbaya, adik Pangeran Gusti. Beberapa tahun setelah itu, Pangeran Gusti pulang dari Makkah hingga akhirnya lebih dikenal dengan nama Sultan Haji. Namun, melihat peranan adiknya sebagai pengisi jabatan sultan muda sementara, membuat rasa kesal timbul di hati Sultan Haji.
Kondisi Kesultanan Banten yang sedang panas dimanfaatkan oleh pihak Belanda yang tak menyukai Sultan Ageng Tirtayasa. Belanda melancarkan taktik adu domba dengan cara memanas-manasi Sultan Haji. Akibat perbuatan Belanda tersebut, Sultan Haji jadi curiga bahwa sang ayah akan mengangkat Pangeran Purbaya sebagai sultan, bukan dirinya.
Lambat laun, Sultan Ageng Tirtayasa mulai menyadari bahwap putra pertamanya sangat dekat dengan Belanda. Hal ini bisa dilihat saat Sultan Haji mengirimkan ucapan selamat pada Rijklof van Goens atas jabatannya sebagai Gubernur Jenderal yang baru. Pada puncaknya, tahun 1961, Sultan Haji meminta bantuan pihak Belanda untuk mengkudeta ayahnya sendiri.
Baca juga: Inilah Biografi Chairil Anwar, Penyair yang Mendapat Julukan Si Binatang Jalang
Pertempuran Besar dengan Belanda
Mengetahui sang putra telah menjadi pengkhianat, Sultan Ageng yang saat itu berada di Tirtayasa membawa pasukannya untuk menyerang Sultan Haji di Surosowan. Penyerangan ini dilakukan saat malam tanggal 16 Februari 1682.
Merasa terdesak, Sultan Haji meminta bantuan pada Jacob de Roy, pimpinan tentara Belanda di Banten. Merasa kewalahan, Jacob de Roy meminta bantuan pasukan lain dari Batavia. Kemudian datanglah pasukan Belanda dalam jumlah besar yang dipimpin oleh Saint Martin dan Hartsinck.
Menghadapi pasukan gabungan yang sangat besar, pasukan Sultan Ageng mengalami kekalahan dan terdesak mundur pada 2 Desember 1682. Tak ingin Istana Tirtayasa dikuasai Belanda, sebelum pergi, sang sultan memerintahkan anak buahnya untuk membumihanguskan Istana Tirtayasa sehingga rata dengan tanah.
Sultan Ageng Tirtayasa bersama keluarga dan pengawalnya yang masih setia melarikan diri ke Hutan Keranggan. Dari sana, Sultan melanjutkan perjalanannya ke Lebah, lalu ke Parijan, hingga akhirnya tiba di Sajira yang merupakan perbatasan Banten dengan Bogor.
Sultan Ageng Tirtayasa Wafat
Sumber: youtube.com
Tibalah di akhir kisah perjalanan hidup Sultan Ageng Tirtayasa dalam biografi ini. Selama dalam masa pelarian, sebenarnya Sultan Ageng masih gencar melawan Belanda dengan taktik perang gerilya.
Namun, Sultan Haji yang mengetahui posisi Sultan Ageng dan para pengawalnya melaporkan hal tersebut pada Belanda. Atas saran Belanda, Sultan Haji memohon agar sang ayah mau kembali ke Istana Surosowan. Sultan Ageng yang sudah lanjut usia pun menuruti permintaan anaknya tanpa curiga sedikit pun bahwa itu hanyalah tipu muslihat Sultan Haji bersama Belanda.
Sultan Ageng tiba di Surosowan pada 14 Maret 1683 tengah malam. Namun, tak lama kemudian, ia ditangkap Belanda dan dipenjara di Batavia. Sultan Ageng Tirtayasa wafat dalam penjara di tahun yang sama.
Tadinya, pihak Belanda ingin menahan jenazah Sultan Ageng. Namun, atas permintaan rakyat dan para petinggi Banten, Belanda bersedia memulangkan jenazah Sultan Ageng Tirtayasa ke Banten.
Ia kemudian dikebumikan di kompleks makam sultan-sultan Banten yang berada di sisi utara Masjid Agung. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 045/TK/Tahun 1970 tertanggal 1 Agustus 1970, Sultan Ageng Tirtayasa dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Nah, hingga saat ini, makam Sultan Ageng Tirtayasa masih sering didatangi oleh para peziarah, baik dari kalangan biasa atau para petinggi negeri. Jika Anda tertarik untuk berkunjung ke makam Sultan Ageng Tirtayasa, sebaiknya siapkan uang recehan yang banyak karena di area masjid dan makam, banyak pengemis yang meminta-minta dengan sedikit memaksa.
Baca juga: Biodata Merry Riana, Sosok Wanita Sukses dalam Buku Mimpi Sejuta Dolar
Pelajaran yang bisa Diambil dari Biografi Sultan Ageng Tirtayasa
Itu tadi adalah profi dan biografi Sultan Ageng Tirtayasa lengkap, mulai dari latar belakang keluarganya, kebijakan-kebijakan yang diambilnya, hingga wafatnya. Apakah Anda sudah merasa puas dengan sajian kami di atas?
Ada banyak hikmah yang bisa dipetik dari membaca biografi Sultan Ageng Tirtayasa ini. Salah satunya, Anda harus memiliki pendirian yang teguh jika ingin sukses. Anda juga tidak boleh memakan mentah-mentah suatu kabar yang belum tentu benar. Sebab, hal tersebut bisa saja malah menghancurkan hubungan Anda dengan orang-orang terdekat.
Berpikirlah cerdas dengan mengecek kebenaran sebuah berita sebelum memercayainya. Karena seperti pada zaman Belanda, saat ini pun banyak orang yang menyebarkan berita bohong hanya demi memecah belah bangsa.
Nah, jika ingin menyimak biografi tokoh-tokoh selain Sultan Ageng Tirtayasa, simak saja PosBagus.com. Karena masing-masing tokoh memiliki pengalaman yang berbeda, Anda pun bisa mendapatkan berbagai inspirasi dan motivasi dengan membaca artikel berbagai tokoh, baik yang dari dalam maupun luar negeri.