
AH Nasution adalah sosok jenderal TNI AD yang hampir menjadi korban peristiwa G30S PKI. Meski berhasil selamat, posisi presiden yang dijabat Soeharto, (koma hilang)justru membuat kariernya meredup. Penasaran bagaimana kisahnya? Yuk, simak biografi Abdul Haris Nasution ini!
Peristiwa G30S adalah tragedi yang masih terus diingat bangsa Indonesia sampai saat ini. Di hari nahas itu, beberapa perwira Angkatan Darat gugur sebagai korban keganasan PKI. Namun, ternyata ada satu jenderal yang sebenarnya turut menjadi target, tapi bisa lolos dari maut. Jika penasaran dengan cerita lengkap tentang kehidupannya, berikut kami sajikan biografi Abdul Haris Nasution.
Dengan membaca biografi Abdul Haris Nasution ini, Anda akan mendapatkan informasi mengenai kisah masa kecil sang jenderal yang ternyata pernah belajar di sekolah keguruan ini. Ya, AH Nasution bahkan juga pernah mengajar di sebuah sekolah.
Wah… lalu sejak kapan ia memulai sekolah militernya, ya? Dan bagaimana ia bisa menjadi seorang jenderal besar jika awalnya ia malah belajar di sekolah guru dan juga berprofesi sebagai guru?
Namun, itulah kenyataan yang terjadi. AH Nasution bahkan merupakan orang pertama yang pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat sebanyak dua kali. Jadi tambah penasaran, kan, dengan profilnya? Kalau begitu, langsung saja simak biografi Abdul Haris Nasution di bawah ini!
Kehidupan Pribadi
Ingin mengenali seseorang secara lebih mendalam? Maka pelajarilah mengenai kehidupan pribadi dan latar belakangnya. Nah, oleh sebab itu, agar Anda jadi lebih mengenali AH Nasution, berikut kami sajikan kisah masa kecil, pendidikan formal, hingga kisah asmaranya di biografi Abdul Haris Nasution ini.
1. Masa Kecil dan Latar Belakang Keluarga
Abdul Haris Nasution atau yang juga biasa disebut AH Nasution lahir pada tanggal 3 Desember 1918 di Desa Hutapungkut, Kotanopan, Sumatra Utara. Ia adalah anak kedua sekaligus putra pertama dari pasangan H. Abdul Halim Nasution dan Hj. Zaharah Lubis. Ayahnya bekerja sebagai pedagang tekstil, karet, dan kopi. Sedangkan ibunya bekerja sebagai petani.
AH Nasution yang semasa kecilnya akrab di sapa Ris, sangat suka bermain sepak bola, seperti layaknya anak laki-laki pada umumnya. Namun, bukan bola-bola plastik yang digunakannya untuk bermain, melainkan kulit jeruk bali yang besar. Selain main bola, Ris memiliki kegemaran lain, yaitu memanjat pohon yang tinggi.
Meski suka bermain, Ris rupanya juga suka membaca buku-buku sejarah, terutama sejarah tentang Nabi Muhammad SAW. Ia sangat tertarik pada sang nabi yang merupakan ahli strategi perang.
Sebagai anak lelaki pertama dalam keluarga, orang tua hingga kakek neneknya menaruh harapan besar pada Ris. Sang kakek yang merupakan guru pencak silat berharap bahwa kelak ia bisa menjadi guru pencak silat. Namun, ayah Ris malah menginginkannya melanjutkan pendidikan ke sekolah agama. Harapan ibunya beda lagi, Hj. Zaharah Lubis ingin agar Ris lanjut ke sekolah umum saja untuk kemudian melanjutkan ke sekolah kedokteran.
2. Pendidikan Formal
AH Nasution bersekolah di Hollandsche Inlandsche School (HIS) Kotanopan yang jaraknya sekitar 6 km dari rumah orang tuanya. Sepulang dari HIS, ia pergi ke madrasah untuk belajar mengaji sampai petang.
Pada tahun 1932, AH Nasution lulus dari HIS dan mendapatkan beasiswa untuk sekolah Hollandsche Indische Kweekschool (HIK) di Bukittinggi, Sumatra Barat. Ia menyelesaikan pendidikannya di sekolah guru tersebut pada 1935. Namun, untuk melanjutkan pendidikannya yang setara SMA, ia harus merantau ke Bandung. Sebab, saat itu di Sumatra belum ada sekolah setara SMA.
Setelah lulus, AH Nasution kembali ke Pulau Sumatra dan mengajar di daerah Bengkulu. Kebetulan, tempatnya mengajar dekat dengan tempat pengasingan Soekarno sehingga ia kerap mendapat kesempatan untuk sekadar ngobrol atau mendengarkan pidato Soekarno. Oleh sebab itu, ia yang sebenarnya sejak kecil sudah menyukai tentang peperangan jadi makin tertarik dengan dunia politik dan militer.
3. Kehidupan Asmara
Istri Abdul Haris Nasution, Johana Sunarti Gondokusumo merupakan wanita asal Surabaya, Jawa Timur yang lahir pada 1 November 1923. Perempuan yang akrab disapa Bu Nas ini merupakan putri dari pasangan RPS Gondokusumo dan HM Rademaker.
Johana menikah dengan Abdul Haris Nasution pada tanggal 30 Mei 1947 di kamp pengungsian Ciwidey, Bandung Selatan. Dari pernikahan mereka, AH Nasution dan Johana dikarunai dua orang putri yang kemudian diberi nama Hendrianti Sahara dan Ade Irma Suryani.
Tak seperti kebanyakan pejabat tinggi yang memiliki selingkuhan atau istri simpanan, AH Nasution adalah seorang lelaki yang sangat menentang adanya poligami. Bahkan, ia tak pernah mau mengajak istrinya jika diundang makan oleh Presiden Soekarno apabila ada Hartini, istri yang dinikahi Soekarno saat Fatmawati masih berstatus sebagai istri sah sang proklamator.
Karier Militer
Bukan berasal dari keluarga yang berada di bidang militer tak membuat Abdul Haris Nasution berkecil hati. Dengan keberanian dan keteguhan hatinya, AH Nasution berhasil mendapatkan predikat sebagai jenderal besar bersama-sama dengan Presiden Soeharto dan Jenderal Soedirman. Penasaran bagaimana kisahnya? Tetap simak biografi Abdul Haris Nasution ini, ya!
1. Bergabung Menjadi Prajurit Belanda
Pada tahun 1940, Perang Dunia II pecah dan Belanda diduduki oleh pasukan Nazi Jerman. Untuk menanggulangi hal-hal yang tak diinginkan, pemerintah Hindia Belanda membentuk korps perwira cadangan yang mengizinkan orang-orang Indonesia turut mendaftar sebagai prajurit.
Sudah tertarik dengan militer sejak kecil, AH Nasution memandang peluang tersebut sebagai kesempatan besar untuk mendapatkan pelatihan militer. Oleh sebab itu, ia mengikuti pelatihan di Akademi Militer Bandung.
Pada September 1940, AH Nasution diberi pangkat sebagai kopral. Tiga bulan setelah itu, tepatnya pada Desember 1940, pangkatnya dinaikkan menjadi sersan. Setelah menyelesaikan pendidikan militernya, AH Nasution ditugaskan di Batalyon 3 yang berkedudukan di daerah Kebalen, Surabaya.
Tahun 1942, saat Jepang menyerbu dan berusaha mengambil alih kekuasaan Belanda atas Indonesia. AH Nasution yang saat itu masih menjadi anggota Batalyon 3 dengan pangkat letnan muda, mendapat tugas untuk mempertahankan Pelabuhan Tanjung Perak. Namun, karena merasa bukan orang Belanda dan takut ditangkap Jepang, ia kabur dari kesatuannya yang sudah mundur hingga ke Jember.
2. Perjalanan Kabur ke Bandung Naik Sepeda Ontel
Sebagai prajurit militer, kisah hidup AH Nasution tak melulu serius. Berikut ada kisahnya yang lucu, tapi menegangkan yang telah kami rangkum dalam biografi Abdul Haris Nasution ini.
Demi memuluskan rencana pelariannya, AH Nasution memotong celana panjang tentara miliknya menjadi pendek. Ia juga mencari sarung dan baju ala orang desa agar penampilannya tak terlihat seperti prajurit. Sebenarnya, ada beberapa teman yang melihat gelagat aneh AH Nasution. Namun, mereka hanya diam saja dan sama sekali tak mengadu pada sang komandan.
Akhirnya, ketika tiba jatahnya menjadi komandan piket, tepat pada pukul 04.00 dini hari, ia kabur ke perkampungan dengan berjalan kaki. Setelah berjalan selama berjam-jam, ia pun tiba di jalan besar dan menumpang dokar untuk melanjutkan perjalanannya ke kota.
Setibanya di kota, ia langsung menuju ke rumah Artawi, temannya sewaktu menimba ilmu di Bandung yang saat itu menjadi anggota Partai Indonesia Raya (Parindra). Tak hanya menampung AH Nasution untuk sementara, Artawi juga mencarikan alat kabur yang cukup terjangkau untuk sang sahabat, yaitu sepeda ontel.
Setelah sepeda ontel dari Artawi dibayar olehnya, AH Nasution pun pamit dan melanjutkan perjalanannya untuk menuju Bandung dengan mengenakan sarung agar tampak seperti santri Jawa Timur.
Meski demikian, ia tak selalu menaiki sepedanya dalam perjalanannya ke Bandung. Jika ada kereta yang kebetulan ke arah barat, ia akan menumpang kereta dan menaikkan sepedanya ke atas kereta.
Pada 8 Maret 1942, pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat pada Jepang sehingga Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL) dinyatakan bubar. Namun, Abdul Haris Nasution harus terus waspada karena serdadu-serdadu yang sebelumnya tergabung dalam pasukan KNIL, baik yang berkebangsaan Belanda maupun pribumi, semua ditangkap oleh Jepang. Untunglah, selama perjalanannya itu, ia tak pernah bertemu dengan serdadu Jepang.
3. Bolak-Balik Bandung-Cianjur-Sukabumi
Ketika sudah sampai di Bandung, ia berniat bersembunyi di rumah Rahmat Kartakusumah, temannya semasa di Akademi Militer. Namun, ternyata Rahmat sedang berada di kamp tawanan Jepang. Jadi, ia meneruskan perjalanannya ke barat hingga akhirnya tiba di Cianjur ketika langit sudah gelap. Keesokan harinya, ia melanjutkan perjalanan ke Sukabumi dan bertemu dengan temannya saat mengajar di Sumatra dan bersembunyi di sana selama beberapa hari.
Barangkali karena tidak enak hati jika terlalu lama berdiam di rumah temannya, AH Nasution kembali mengayuh sepedanya ke Cianjur dan Bandung. Namun, karena situasi masih kacau, ia pun bolak-balik Bandung-Cianjur-Sukabumi selama beberapa waktu
Baca juga: Biografi Mahatma Gandhi, Sang Empunya Jiwa Agung yang Cinta Damai
4. Menumpang di Rumah Mr. Gondokusumo
Tiga bulan setelah penyerahan tanpa syarat Belanda kepada Jepang, masyarakat pribumi yang menjadi tawanan karena bergabung dengan militer Belanda dibebaskan. Sadar bahwa kondisi sudah aman, Nasution menemui Mr Gondokusumo, seorang tokoh Parindra yang tinggal di Bandung.
Sejak saat itu, Mr. Gondokusumo menjadi pelindung Nasution. Tokoh Parindra tersebut bahkan juga meyakinkan perwira Polisi Militer Jepang bahwa Nasution adalah orang yang bisa diandalkan untuk melawan Belanda. Ya, Gondokusumo memang orang yang dipercaya Jepang karena pernah menyelamatkan pilot Jepang yang pesawatnya jatuh di Sukadingin, Purwakarta.
Hubungan Nasution dan Mr. Gondokusumo kemudian tak hanya sebatas rekan saja, karena pada 1947, Nasution menikahi putri Mr Gondokusumo yang bernama Johana Sunarti Gondokusumo. Dengan demikian, maka Mr Gondokusumo menjadi ayah mertua Nasution.
5. Menduduki Jabatan Tinggi dalam TKR
Setelah Presiden Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Abdul Haris Nasution menjadi penasehat Badan Keamanan Rakyat (BKR) Bandung. Saat BKR berubah nama menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) pada 5 Oktober 1945, AH Nasution diberi jabatan sebagai Kepala Staf Komandemen TKR I/Jawa Barat dengan pangkat kolonel.
Kemudian pada tahun 1948, pangkatnya dinaikkan menjadi jenderal mayor dan diberi jabatan sebagai Panglima Divisi III/TKR Priangan. Namun, pada tahun yang sama, akibat pelaksanaan Reorganisasi dan Rasionalisasi, pangkatnya diturunkan lagi menjadi kolonel dan jabatannya diganti menjadi Kepala Staf Operasi Markas Besar Tentara (MBT). Tak lama setelah itu, Nasution ditugaskan menjadi Panglima Tentara dan Teritorium Djawa (PTTD).
6. Kenaikan Pangkat yang Melesat Cepat
Mulai dari penghujung tahun 1949, karier Nasution semakin meroket hingga pada akhirnya ia dilantik menjadi pucuk pimpinan Angkatan Darat. Penasaran dengan kisahnya? Simak terus biografi Abdul Haris Nasution berikut!
Pada tanggal 10 Desember 1949, berdasarkan Surat Penetapan Kementerian Pertahanan No. 126/MP/1949 Abdul Haris Nasution diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Namun, pangkatnya tak dinaikkan dan tetap menjadi kolonel.
Kemudian pada 17 Oktober 1952, terjadi demonstrasi yang menuntut pembubaran DPR. Hal tersebut dipicu karena DPR dianggap terlalu mencampuri masalah intern Angkatan Darat. Akibat insiden yang dikenal dengan sebutan Peristiwa 17 Oktober 1952 itu, Abdul Haris Nasution dan beberapa perwira Angkatan Darat lainnya dibebaskan dari jabatannya.
Pada masa-masa rehatnya dari Angkatan Darat, Nasution aktif menulis buku dan mendirikan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), partai yang sebagian besar anggotanya terdiri dari perwira yang sama-sama di-non-aktifkan bersamanya.
Pascadigelarnya rekonsiliasi antara perwira yang setuju dan tak setuju dengan Peristiwa 17 Oktober 1952, Abdul Haris Nasution kembali dicalonkan sebagai KSAD. Akhirnya pada tanggal 7 November 1955, AH Nasution dinaikkan pangkatnya menjadi mayor jenderal, dan ia dilantik lagi menjadi KSAD.
Pada tahun 1958, Angkatan Darat melakukan reorganisasi. Hasilnya, AH Nasution diangkat sebagai Menteri Keamanan Nasional, dan pangkatnya dinaikkan menjadi letnan jenderal. Ia menduduki jabatan tersebut selama kurang lebih empat tahun hingga akhirnya pada 1962 dilantik sebagai Menteri Koordinator (Menko) Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata. Selain mendapat jabatan baru, pangkatnya juga dinaikkan menjadi jenderal penuh (bintang empat).
Kemudian pada awal masa Orde Baru, ia dilantik menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang akhirnya dibubarkan Presiden Soeharto pada tahun 1972.
Baca juga: Biografi Nelson Mandela, Pejuang Gerakan Anti-Apartheid yang Disegani Dunia
Prestasi-Prestasi yang Ditorehkan Selama Menjadi Tentara Aktif
Tentunya karier AH Nasution yang melesat dengan cepat bukan tanpa alasan, selama menjadi tentara aktif ia memang menorehkan banyak prestasi yang gemilang. Nah, kalau Anda penasaran dengan prestasi-prestasi jenderal asal Sumatra Utara ini, simak biografi Abdul Haris Nasution berikut!
1. Konseptor Perang Gerilya
Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer yang pertama, tentara Indonesia melawan dengan menggunakan strategi linear. Namun, ternyata strategi tersebut bisa dibilang gagal karena mudah ditembus Belanda.
Nasution berpendapat bahwa jika tetap menerapkan strategi linier, maka cepat atau lambat pasukan Indonesia terdesak mundur. Apalagi, senjata tentara Indonesia masih terhitung tradisional, berbeda dengan tentara Belanda yang senjatanya sudah canggih. Oleh sebab itu, ia menyarankan untuk menghadapi Belanda dengan taktik perang gerilya.
Tak disangka, taktik tersebut berhasil dan membuat Belanda bersedia melakukan gencatan senjata. Gagasan-gagasan AH Nasution tentang perang gerilya lalu dituliskannya dalam buku berjudul Strategy of Guerilla Warfare yang kemudian menjadi buku wajib Akademi Militer di beberapa negara.
Selain merumuskan perang gerilya, ia juga menyusun konsep perang teritorial. Konsep teritorial tak hanya tentang taktik berperang, melainkan juga tentang bagaimana caranya merebut hati dan pikiran rakyat. Konsep ini sejak tahun 1960 resmi diterapkan TNI AD sebagai doktrin pertahanan nasional.
2. Konseptor Penumpasan PKI 1948
Inilah awal dari konflik PKI dan Abdul Haris Nasution yang terangkum dalam biografi ini. Tanggal 18 September 1948, terjadi pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun. Sebagai Wakil Panglima Besar dan anggota Dewan Siasat Militer, Nasution diberi tugas oleh Presiden Soekarno untuk membuat konsep operasi penumpasan.
Ia lalu mengajukan konsep yang isi pokoknya menyelamatkan Pemerintah, menangkap tokoh-tokoh pemberontakan, dan membubarkan organisasi pendukung beserta simpatisannya. Konsep ini kemudian disetujui Presiden Soekarno dan dilaporkan pada Panglima Besar Jenderal Soedirman. Untuk menjalankan taktik tersebut, diadakanlah Sidang Dewan Siasat Militer.
3. Pemrakarsa Ide Pengembalian Konstitusi UUD 1945
Pada tahun 1949 hingga 1950, konstitusi Indonesia berubah menjadi RIS (Republik Indonesia Serikat). Kemudian pada 1950 hingga 1959, konstitusi berubah lagi menjadi UUDS 1950. Selama pergantian konstitusi tersebut, banyak pemberontakan yang terjadi di Indonesia, misalnya saja DI/TII, RMS, dan PRRI.
Oleh sebab itu, Jenderal AH Nasution bersikeras untuk mengembalikan konstitusi menjadi UUD 1945. Usul ini menjadi pertentangan selama beberapa tahun hingga akhirnya Presiden Soekarno setuju dan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang isinya mengembalikan UUD 1945 sebagai dasar konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4. Pemrakarsa Dwifungsi ABRI
Setelah Belanda mengakui kedaulatan bangsa, secara berangsur-angsur Republik Indonesia terlepas dari kondisi darurat perang. Agar tentara tetap bisa berperan aktif dalam jalannya pemerintahan, Jenderal AH Nasution mengusulkan konsep jalan tengah dengan maksud agar kehidupan berbangsa dan bernegara tetap stabil.
Ya, Jenderal AH Nasution berpendapat bahwa tentara merupakan salah satu kekuatan yang menentukan nasib bangsa. Bukan untuk mengambil alih kekuasaan, keterlibatan ABRI dalam pemerintahan hanya bertujuan agar Indonesia semakin kuat.
Konsep jalan tengah yang dicetuskan Jenderal AH Nasution tersebut kemudian dijadikan sebagai konsep dasar Dwifungsi ABRI oleh Presiden Soeharto pada masa Orde Baru. Namun, konsep Dwifungsi yang dijalankan Soeharto rupanya melenceng dari apa yang diinginkan Nasution sehingga pada akhirnya rakyat menjadi marah karena peran ABRI dalam pemerintahan terlalu kuat.
5. Berperan dalam Pembebasan Irian Barat
Jenderal AH Nasution melakukan segala upaya, baik dalam bidang politik maupun militer untuk membebaskan Irian Barat dari cengkeraman Belanda. Langkah pertama yang dilakukannya adalah dengan menasionalisasi perusahaan-perusahaan yang sebelumnya dikuasai Belanda.
Kemudian pada 4 Januari 1958, dibentuklah Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB) yang dipimpin oleh Jenderal AH Nasution. Organisasi ini meliputi unsur-unsur masyarakat, seperti militer, tani, buruh, wanita, dan pemuda. Tugas dari organisasi tersebut adalah menggalang kekuatan massa dari tingkat pusat sampai daerah.
Pada tahun 1961, Jenderal AH Nasution yang saat itu menjabat sebagai KSAD, memerintahkan Brigjen Soeharto untuk membentuk pasukan Cadangan Umum Angkatan Darat. Tak hanya itu, ia juga mencetuskan misi pembelian senjata ke Amerika Serikat dan sejumlah negara-negara blok Timur. Misi tersebut lalu dikenal sebagai Misi Abdul Haris Nasution.
Tanggal 11 Desember 1961, Pemerintah membentuk Dewan Pertahanan Nasional, dan Jenderal AH Nasution ditunjuk sebagai Deputy II. Tak hanya itu, ia juga diangkat menjadi Wakil Panglima Besar Komando Tertinggi (KOTI) Pembebasan Irian Barat (Pemirbar).
Langkah-langkahnya dalam rangka membebaskan Irian Barat juga ditempuh dengan cara pendekatan keagamaan. Ya, Jenderal AH Nasution meminta I.J. Kasimo, ketua Partai Katolik Indonesia untuk menghubungi pimpinan Partai Katolik Belanda. Pembicaraan ini diharapkan bisa memengaruhi pemerintah Belanda dalam menyelesaikan permasalahan terkait Irian Barat.
6. Berperan Aktif Menghadapi Usaha Makar PKI
Setelah reorganisasi ABRI pada 1962, Jenderal AH Nasution diberi jabatan sebagai Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan (Menko Hankam) dan merangkap Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KASAB). Saat itu, kekuasaan Partai Komunis Indonesia sedang menguat dan mengancam Pancasila yang selama ini dijadikan sebagai dasar negara.
Oleh sebab itu, untuk menghalangi semakin meluasnya pengaruh PKI di bidang politik, Jenderal AH Nasution mendirikan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Anggota Sekber Golkar terdiri dari Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia (SOKSI), Koperasi Gotong Royong (Kosgoro), dan Musyawarah Kerukunan Gotong Royong (MKGR).
Masih dalam rangka menghalangi langkah-langkah strategis PKI yang dapat mengarah ke makar, ia menolak semua usulan yang diajukan partai berhaluan kiri tersebut dalam berbagai bidang. Di bidang militer, dibentuklah Biro Sejarah yang kemudian berkembang menjadi Pusat Sejarah. Lalu di bidang pers, ia menginstruksikan penerbitan Pemberitaan Angkatan Bersenjata (PAB), Harian Angkatan Bersenjata (HAB), dan Berita Yudha.
Di bidang budaya, dilangsungkan Konferensi Karyawan Pengarang Seluruh Indonesia (KKPI), dan di bidang pertahanan, ia dengan lantang menolak usulan Nasakom yang diprakarsai PKI. Di bidang teritorial, Jenderal AH Nasution juga melakukan langkah-langkah strategis, seperti membentuk organisasi Pertahanan Sipil (Hansip), Pertahanan Rakyat (Hanra) dan Resimen Mahasiswa di setiap Universitas.
Baca juga: Biografi Albert Einstein, Sang Penemu Teori Relativitas
Lolos dari Serangan PKI
Karena begitu lantang menentang pergerakan komunis, Jenderal AH Nasution menjadi target penculikan dan pembunuhan yang dilakukan PKI pada 1 Oktober 1965. Namun, ia berhasil selamat dari serangan mendadak tersebut. Berikut kami uraikan kisahnya secara lengkap dalam biografi Abdul Haris Nasution ini!
Pukul 04.00 pagi tanggal 1 Oktober 1965, iring-iringan pasukan PKI yang mengenakan seragam Cakrabirawa (pasukan pengawal presiden) menjalankan misi untuk membunuh tujuh perwira Angkatan Darat yang selama ini menentang PKI. AH Nasution adalah petinggi Angkatan Darat yang termasuk dalam daftar tersebut.
Saat itu, Letnan Arief yang memimpin pasukan pemberontak datang ke rumah Nasution yang berada di Jalan Teuku Umar No. 40, Jakarta Pusat. Mereka berhasil melumpuhkan para tentara yang menjaga rumah Nasution dalam waktu singkat.
Jenderal AH Nasution dan anggota keluarganya sedang terlelap tidur kala itu. Namun, sang istri, Johana Sunarti, mendengar pintu dibuka secara paksa. Johana bangkit dari ranjang untuk memeriksa apa yang terjadi di luar. Namun, ia sungguh terkejut saat melihat pasukan berseragam Cakrabirawa yang menenteng senjata dengan posisi siap menembak.
Johana langsung kembali ke dalam kamar dan segera memberi tahu sang suami. Nasution kemudian bermaksud keluar untuk melihat apa yang terjadi. Namun, seorang tentara tiba-tiba menembak ke arahnya. Ia pun langsung tiarap dan sang istri dengan sigap kembali menutup dan mengunci pintu. Sementara itu, pasukan pemberontak tersebut mulai menembaki pintu kamar.
Tak ingin sang suami terbunuh, Johana mendorong Nasution untuk kabur melalui pintu yang lain. Setelah berhasil menyusuri koridor dan tiba di samping rumah, Nasution segera memanjat dinding yang membatasi rumahnya dengan Kedutaan Besar Irak.
Saat berupaya kabur, sebenarnya ada seorang pemberontak yang melihat Nasution dan berusaha menembaknya. Namun, tembakan itu meleset sehingga Nasution bisa mendarat di halaman Kedutaan Besar Irak meski harus mengalami patah pergelangan kaki.
Ajudan dan Putri Jenderal AH Nasution Terbunuh
Sementara Nasution bisa melarikan diri, putri bungsunya, Ade Irma Suryani, malah menjadi korban penembakan pasukan pemberontak. Sedangkan Lettu Pierre Tendean, ajudan Nasution, dibawa gerombolan pemberontak untuk kemudian dibunuh. Berikut kami sajikan kisahnya dalam biografi Abdul Haris Nasution ini.
Seluruh penghuni rumah jadi terbangun karena keributan tersebut, termasuk dua anaknya, Hendrianti Sahara dan Ade Irma Suryani, adik perempuannya, Mardiah, serta ibunya, Hj. Zaharah Lubis.
Karena panik, Hj. Zaharah Lubis dan Mardiah yang menggendong Ade Irma Suryani berlari ke kamar Jenderal AH Nasution. Namun, seorang pasukan berpangkat kopral melihat mereka dan melepaskan tembakan ke arah pintu. Tembakan tersebut mengenai Ade Irma Suryani hingga bocah berusia lima tahun itu terluka parah akibat tiga peluru yang menembus punggungnya.
Mengetahui putrinya tertembak, setelah selesai membantu suaminya kabur, Johana segera menelepon dokter agar putrinya dapat tertolong. Sedangkan putri pertama Nasution, Hendrianti Sahara, berhasil menyelamatkan diri dengan bersembunyi di bawah tempat tidur rumah pondok para ajudan.
Kondisi yang kacau saat itu, ditambah dengan penerangan yang padam, membuat pasukan Cakrabirawa salah sasaran. Ya, mereka mengira Lettu Pierre Tendean adalah Jenderal AH Nasution karena perawakannya yang mirip. Pasukan Cakrabirawa lalu meninggalkan rumah Jenderal AH Nasution dengan membawa Lettu Pierre Tendean menuju Lubang Buaya untuk dibunuh dan dibuang ke sebuah sumur tua bersama para perwira lain yang juga menjadi korban.
Sedangkan Ade Irma Suryani yang kala itu bersimbah darah langsung dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD). Namun, lima hari setelah mendapat penanganan medis, tepatnya pada 6 Oktober 1965, Ade Irma Suryani Nasution menghembuskan nafas terakhirnya.
Hubungan dengan Soeharto
Hubungan antara Jenderal AH Nasution dan Soeharto memang bisa dibilang ‘istimewa’. Ada saatnya mereka dekat, tapi ada saatnya juga mereka berselisih. Bagaimana bisa demikian? Yuk simak biografi Abdul Haris Nasution berikut!
Di penghujung dekade 1950-an, Soeharto melakukan penyelundupan bersama Liem Sioe Liong, Bob Hasan, dan Tek Kiong. Hal ini membuat Jenderal AH Nasution yang saat itu menjabat sebagai KSAD marah. Ia bahkan sampai mengusulkan pemecatan Soeharto.
Namun, Soeharto tidak jadi dipecat karena diselamatkan ayah angkat Bob Hasan, Wakil KSAD Jenderal Gatot Soebroto. Menurut Gatot Soebroto, Soeharto masih dapat dibina sehingga hanya dicopot dari jabatannya dan dikirim ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) sebagai hukuman.
Hubungan Nasution dan Soeharto mulai membaik saat pengaruh PKI dalam pemerintahan menguat. Ya, mereka berdua memang anti PKI. Tak lama setelah peristiwa G30S PKI, Jenderal AH Nasution memerintahkan Soeharto untuk melakukan langkah-langkah yang perlu guna menumpas PKI.
Penumpasan terhadap PKI yang ditengarai telah menjangkiti Presiden Soekarno tersebut membuat sang presiden diasingkan, dan Soeharto dilantik menjadi Pejabat Presiden Republik Indonesia dalam Sidang Istimewa MPRS tahun 1967. Saat itu, sebagai Ketua MPRS, Jenderal AH Nasution adalah orang yang melantik Soeharto.
Baca juga: Biografi Steve Jobs, Sosok Pendiri Apple yang Memiliki Ambisi Luar Biasa
Soeharto Membatasi Langkah AH Nasution
Meski Nasution dan Soeharto terlihat akrab saat memberantas PKI, hal yang sebaliknya terjadi saat Soeharto sudah menjadi presiden. Presiden Kedua Republik Indonesia tersebut seolah-olah mematikan karier Nasution. Penasaran dengan kisahnya? Simak terus biografi Abdul Haris Nasution ini!
Pada tahun 1968, Soeharto dilantik menjadi presiden dan berkuasa hingga 32 tahun lamanya. Namun, selama menjadi presiden, Soeharto cenderung menjegal karier Nasution.
Langkah pertama yang dilakukan Soeharto dalam rangka “menyingkirkan” Nasution adalah membubarkan MPRS pada tahun 1972. Saat Nasution membuat buku tentang kesan-kesannya selama menjadi Ketua MPRS, Soeharto memerintahkan aparat untuk membakar buku-buku tersebut beserta gudangnya.
Gerak-gerik Nasution selalu diawasi, sampai-sampai ia dilarang memberikan pidato di kampus-kampus maupun sekadar khotbah Jumat. Bahkan dalam buku AH Nasution di Masa Orde Baru, Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) melarang media massa memuat tulisan-tulisannya.
Kesulitan yang dihadapi Abdul Haris Nasution semakin menjadi kala ia bergabung dengan kelompok Petisi 50 yang berupaya mengoreksi pemerintahan Orde Baru. Tak perlu menunggu lama, Kopkamtib pun mencabut hak politik dan mencekal anggota Petisi 50 yang terdiri dari para politisi senior dan purnawirawan jenderal.
AH Nasution juga dilarang tampil di hadapan publik maupun menghadapi acara kenegaraan maupun acara yang dihadiri pejabat negara, seperti acara pernikahan anak-anak Gatot Subroto, anak-anak Ahmad Yani, dan masih banyak lagi. Demikian pula saat melayat Adam Malik, Jenderal AH Nasution didorong Paspampres ketika hendak menyolatkan jenazah. Alasannya karena Wapres Umar Wirahadikusuma akan memasuki rumah duka.
Tak hanya terkait politik, kehidupan pribadi Jenderal AH Nasution pun juga diusik. Masalah air misalnya, air ledeng di rumah jenderal yang kerap disapa Pak Nas ini diputus secara sepihak. Akibatnya, Pak Nas harus membuat sumur sendiri di belakang rumahnya. Begitu juga perkara mobil, Holden Premier tua yang dipakai Pak Nas sehari-hari juga ditarik oleh Pemerintah.
Dinobatkan sebagai Jenderal Besar
Ada tiga orang perwira militer Indonesia yang mendapatkan penghargaan sebagai jenderal besar (bintang lima). Ketiganya adalah Soeharto, AH Nasution, dan Soedirman. Bagaimana bisa Pak Nas mendapat penghargaan tersebut? Simak uraiannya dalam biografi Abdul Haris Nasution ini!
Suatu hari, Prof. Salim Said yang merupakan seorang penulis ternama, melihat Jenderal Wiranto yang saat itu menjabat sebagai KSAD mencium tangan Jenderal AH Nasution. Salim Said yang sudah mengetahui kisah hidup AH Nasution kemudian berpikir bahwa Pak Nas sepantasnya menjadi jenderal bintang lima.
Ide tersebut kemudian disampaikan Salim kepada Jenderal Sayidiman Suryohadiprojo dan Letnan Jenderal Zaini Azhar Maulani. Sayidiman mengusulkan agar Salim menulis ide itu, tapi Zaini berpendapat jika ide tersebut dipublikasikan terlebih dahulu, besar kemungkinannya akan ditolak Soeharto. Sedangkan Salim juga berpikir Nasution akan menolak jika diberi penghargaan lebih tinggi dari Soeharto karena berpotensi menyebabkan Soeharto kesal.
Kemudian menurut Salim, untuk menghindari hal tersebut, Soeharto juga harus diberi penghargaan yang sama. Begitu juga dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman. Alasan yang digunakan adalah peran ketiga orang itu dalam Dwifungsi ABRI.
Akhirnya, wacana itu terwujud saat Salim bisa menemui Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung pada awal Agustus 1997. Tak dinyana, ternyata Feisal Tanjung menyetujui usulan tersebut hingga akhirnya terbitlah Keppres No. 44/ABRI/1997, Keppress No. 45/ABRI/1997, dan Keppres No. 46/ABRI/1997. Ketiganya memuat keputusan yang menyatakan bahwa Soeharto, AH Nasution, dan Soedirman dianugerahi gelar sebagai jenderal bintang lima.
Meninggalnya Sang Jenderal Besar yang Lolos dari Tragedi G30S
Inilah akhir kisah kehidupan Abdul Haris Nasution dalam biografi ini. Ia tak gugur dalam peristiwa G30S PKI tahun 1965, meski faktanya, ia merupakan salah satu target utama para pemberontak. Ya, Jenderal AH Nasution lolos dari maut dan masih bisa menikmati hidup sampai 45 tahun ke depan. Pak Nas meninggal pada tanggal 6 September 2000 pukul 7.30 di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta karena sakit diabetes dan stroke yang dideritanya.
Meski sudah tiada, nama Jenderal AH Nasution tetap dikenang sebagai salah satu orang yang sangat berjasa untuk kedamaian dan stabilitas nasional. Pak Nas juga dikenal sebagai sosok yang religius karena masih mengusahakan untuk salat Jumat berjamaah di masjid dekat rumahnya walaupun sedang sakit.
Penghargaan yang Didapatkan
Selama hidupnya, Jenderal AH Nasution telah banyak menorehkan prestasi, baik di bidang politik maupun militer. Jadi, tidaklah mengherankan jika ia mendapat berbagai penghargaan seperti yang telah kami rangkum dalam biografi Abdul Haris Nasution ini.
AH Nasution pernah mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Padjajaran dan Universitas Islam Sumatra Utara. Ia juga mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang politik ketatanegaraan dari Filipina.
Selain berupa gelar, Jenderal AH Nasution juga mendapatkan bintang tanda penghormatan, baik dari dalam maupun luar negeri. Ya, ada sekitar tujuh negara yang memberinya penghargaan, salah satunya adalah Belanda, negara yang pernah menjajah Indonesia selama 350 tahun.
Nah, penghargaan yang dari dalam negeri, misalnya Bintang Republik Indonesia Klas III dan II, Bintang Maha Putera Klas II, Bintang Sakti, Bintang Darma, Bintang Gerilya, Bintang Sewindu, Satyalencana Kesetiaan, dan masih banyak lagi. Sedangkan yang dari luar negeri, misalnya Bintang Bendera Yugoslavia Klas I, Grootkruis Oranye Nassau dari Belanda, Bintang Jasa dari Republik Federasi Jerman, Bintang Tertinggi Trimurti dari Ethiopia, dan lain-lain.
Sedangkan dari korps militer, Jenderal AH Nasution juga mendapat penghargaan berupa lencana kehormatan dari dalam dan luar negeri. Beberapa di antaranya, yaitu Korps Kapal Selam Angkatan Laut Republik Indonesia, Korps Kapal Selam Uni Soviet, Korps Kapal Selam Amerika Serikat, Korps Berlapis Baja Jerman, dan lain-lain.
Baca juga: Biografi Sultan Ageng Tirtayasa, Pahlawan Nasional Asal Banten yang Dikudeta Putranya Sendiri
Pelajaran yang bisa Diambil dari Biografi Abdul Haris Nasution
Itu tadi adalah biografi Abdul Haris Nasution yang sudah kami rangkum secara lengkap. Informasi tentang Pak Nas, mulai dari latar belakang keluarga, awal karier, sepak terjangnya di dunia militer dan perpolitikan Indonesia, hingga penghargaan-penghargaan yang telah diraihnya, semua ada. Nah, kira-kira pelajaran apa yang bisa didapat dengan membaca biografi Abdul Haris Nasution ini?
Salah satu pelajaran utama yang bisa dipetik dari kisah perjalanan Jenderal Abdul Haris Nasution dalam biografi ini, yaitu Anda dapat belajar bahwa untuk menjadi orang hebat, tak melulu harus memiliki latar belakang keluarga yang hebat pula. Dengan kegigihan, keberanian, kejujuran, dan kesabaran, cepat atau lambat, kesuksesan akan menghampiri Anda.
Nah, jika ingin mendapatkan motivasi dengan membaca biografi tokoh-tokoh selain Abdul Haris Nasution, terus simak PosBagus.com. Di samping tentang biografi tokoh, seperti Abdul Haris Nasution, ada juga informasi menarik lain, misalnya saja tentang wisata, kuliner, dan masih banyak lagi. Selamat membaca!