
Pada tahun 2016, pemerintah Indonesia mengeluarkan serial uang rupiah baru dengan beberapa foto pahlawan yang tidak banyak dikenal, salah satunya adalah Frans Kaisiepo. Beberapa orang mungkin penasaran siapakah sosok yang terdapat di mata uang nominal 10.000 itu. Padahal, jasa-jasanya dalam menyatukan Papua dengan Indonesia itu cukup besar. Jika Anda penasaran, simak biografi Frans Kaisiepo yang sudah kami siapkan di bawah ini.
- Nama
- Frans Kaisiepo
- Tempat, Tanggal Lahir
- Biak, 10 Oktober 1921
- Meninggal
- 10 April 1979
- Kewarganegaraan
- Indonesia
- Pasangan
- Anthomina Arwam, Maria Magdalena Moorwahyuni (m. 1973–1979)
- Anak
- Beatrix Kaisiepo Wanma, Susana Kaisiepo Manggaprouw, Manuel Kaisiepo, Victor Kaisiepo
- Orang Tua
- Albert Kaisiepo (Ayah), Alberthina Maker (Ibu)
Frans Kaisiepo termasuk salah satu pahlawan nasional Indonesia yang tak banyak dikenal orang banyak. Bahkan, ketika wajahnya muncul di lembar uang 10.000, banyak yang mempertanyakan siapa sosok bernama Frans Kaisiepo itu sebenarnya. Di sini, biografi Frans Kaisiepo ada untuk memberikan informasi lebih lanjut.
Sederhananya, Frans Kaisiepo adalah pahlawan nasional Indonesia yang pertama kali mengibarkan bendera merah putih di Irian Barat. Dengan rasa cinta yang besar pada Indonesia, ia pun terdorong untuk membantu setiap upaya pemerintah Indonesia untuk menyatukan Papua dengan Indonesia.
Frans sering sekali menolak perintah yang diberikan pemerintah Belanda padanya. Bahkan, beberapa kali dihukum dengan cara dikucilkan atau dipenjara sekalipun, tidak mengurangi rasa cintanya pada Indonesia.
Jika Anda ingin mengetahui informasi lebih lanjut, simak artikel ini. Di sini kami sudah menyiapkan biografi Frans Kaisiepo, mulai dari masa kecilnya, jasa-jasanya, hingga akhir hayatnya. Selamat membaca!
Masa Kecil dan Pendidikan Frans Kaisiepo
Hal pertama yang perlu Anda ketahui dalam biografi Frans Kaisiepo adalah tentang masa kecil dan pendidikannya. Pahlawan nasional yang gambarnya ada di lembar uang sepuluh ribu rupiah ini lahir di Biak, Papua pada tanggal 10 Oktober 1921. Ayahnya, Albert Kaisiepo adalah kepala suku Biak Numfor dan seorang pandai besi, dan Ibunya bernama Alberthina Maker.
Ketika berusia 2 tahun, ibunya meninggal dunia. Oleh ayahnya, Frans Kaisiepo dititipkan pada bibinya. Sejak saat itu, ia tumbuh besar bersama saudaranya, Markus.
Meskipun mereka tinggal di Kampung Wardo, pedalaman Biak, tapi Frans dibesarkan dalam pendidikan Belanda. Ia bersekolah di Sekolah Rakyat pada tahun 1928–1931, kemudian melanjutkan ke LVVS (sekolah setingkat SMP) di Korido pada tahun 1931–1934. Ia lalu melanjutkan studinya ke Sekolah Guru Normalis di Manokwari.
Pahlawan nasional dari Biak ini juga sempat mengikuti sebuah kursus kilat Pamong Praja di Kota Nica (kini bernama Kampung Harapan Jaya) pada bulan Maret–Agustus 1945. Di sana, ia dididik oleh Soegoro Atmoprasodjo, bekas aktivis di Partai Indonesia (Partindo) dan pengajar Taman Siswa di Yogyakarta yang diasingkan ke Boven Digoel, Papua.
Meskipun Soegoro dipekerjakan oleh pemerintah Belanda, tapi ia selalu menekankan rasa cinta pada Indonesia ke murid-muridnya, termasuk dengan mengenalkan lagu Indonesia Raya. Dari Soegoro, rasa cinta Frans pada Indonesia semakin tumbuh.
Baca juga: Biografi Dewi Sartika, Sang Srikandi Pendidikan dari Priangan
Perjalanan Karier Politiknya
Ketika membicarakan tentang biografi Frans Kaisiepo, tak akan lengkap jika tidak menyebutkan karier politiknya. Karena upayanya dalam menyatukan Papua dengan Indonesia itu dilakukan melalui bidang politik.
1. Terjadinya Konferensi Malino
Perkenalan Frans Kaisiepo dengan Soegoro Atmoprasodjo tak hanya membuatnya semakin mencintai Indonesia, tapi juga mendorongnya untuk semakin memasuki dunia politik.
Perjalanan karier politiknya dimulai ketika ia menggagas berdirinya Partai Indonesia Merdeka di Biak pada tanggal 10 Juli 1946. Karena saat itu Frans Kaisiepo tengah menjadi Kepala Distrik Warsa di Biak Utara, posisi ketua partainya pun diberikan pada Lukas Rumkoren.
Pada tanggal 15–25 Juli 1946 di Kota Malino, Sulawesi Selatan, diadakan Konferensi Malino. Tujuan dari konferensi tersebut adalah untuk membentuk negara-negara bagian di Indonesia, juga penyatuan daerah-daerah di Indonesia bagian Timur menjadi negara. Pada konferensi tersebut, Frans Kaisiepo hadir sebagai satu-satunya wakil dari Papua.
Di konferensi tersebut, Frans Kaisiepo tak hanya menentang niat Belanda untuk memasukkan Papua ke dalam Negara Indonesia Timur (NIT), tapi juga penyatuan wilayah Papua dengan Maluku. Frans juga mengusulkan agar Papua dipimpin oleh orang-orang dari kalangan Papua Sendiri. Oleh karenanya, NIT hanya terdiri dari Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku.
Frans Kaisiepo kemudian memberikan usulan untuk mengganti nama Papua atau Nederlands Nieuw Guinea menjadi Irian. Nama tersebut berasal dari sebuah istilah dalam bahasa Biak yang memiliki arti “panas”. Istilah tersebut biasanya digunakan oleh pelaut Biak yang mengharapkan panas matahari untuk dapat melaut. Selain itu, ia juga berharap kalau Irian dapat menjadi cahaya yang mengusir kegelapan di Indonesia.
Selain alasan itu, nama Papua sendiri sebenarnya berasal dari Maluku, pua-pua yang memiliki arti keriting. Frans Kaisiepo merasa kalau kata tersebut mengandung kesan merendahkan orang lokal. Pada akhirnya, Presiden Soekarno menjadikan nama Irian itu sebagai akronim dengan kepanjangan “Ikut Republik Indonesia Anti Netherlands.
Sayangnya, usulan Frans Kaisiepo saat itu tidak mendapatkan dukungan baik dari pemerintah Belanda ataupun Indonesia. Sebagai dampaknya, sejak saat itu tak ada lagi perwakilan dari Papua pada setiap konferensi. Frans dibungkam oleh pemerintah dengan cara disekolahkan selama lima tahun di Opleidingsschool voor Inheemsche Bestuursambtenaren (OSIBA) atau Sekolah Pendidikan Pamong Praja.
Tahun 1949, pemerintah Belanda menunjuk Frans Kaisiepo sebagai delegasi Nederlands Niuew Guinea untuk mendatangi Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda. Namun, Frans Kaisiepo menolak dipilih sebagai wakil Nederlands Niuew Guinea di perundingan KMB tersebut karena tidak ingin dimanfaatkan oleh pemerintah Belanda. Akibat dari penolakan tersebut, Frans dihukum dan diasingkan ke daerah-daerah terpencil, seperti Ransiki, Manokwari, Ayamu-Taminabuan, Sorong, dan Fak-fak, Mimika.
2. Peran Pahlawan Naisonal Frans Kaisiepo pada Operasi Trikora & Perjanjian New York
Pada tahun 1961, Frans Kaisiepo diangkat sebagai Kepala Daerah Mimika. Ia kemudian mendirikan sebuah partai politik bernama Irian Sebagian Indonesia (ISI) yang tujuan utamanya adalah menuntut penyatuan Papua dengan Republik Indonesia.
Di tahun yang sama, Operasi Trikora (Tri Komandi Rakyat) dijalankan oleh Presiden Soekarno. Tujuan dari operasi tersebut adalah untuk merencanakan dan mempersiapkan rencana penyatuan Irian Barat dengan Indonesia. Karena merasa memiliki tujuan yang sama, Frans Kaisiepo berusaha untuk membantu pendaratan sukarelawan Indonesia di Mimika melalui ISI.
Saat itu pemerintahan Indonesia dan Belanda masih terus merebutkan wilayah Papua. Belanda bahkan menangguhkan penyerahan wilayah Irian Barat karena adanya kepentingan politik dan ekonomi.
Baca juga: Biografi Nelson Mandela, Pejuang Gerakan Anti-Apartheid yang Disegani Dunia
3. Menjadi Gubernur & Membantu Persatuan Papua dengan Indonesia
Pada tahun 1964, Frans Kaisiepo ditunjuk sebagai Gubernur Papua menggantikan Eliezer Jan Bonay. Selama masa kepemimpinannya, pertumbuhan penduduk dan tingkat pendidikan rakyat Papua menjadi lebih baik dibandingkan ketika di bawah kepemimpinan pemerintah Belanda.
Sebagai gubernur, Frans berusaha untuk turut serta memenangkan Indonesia dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang telah ditetapkan dalam Perjanjian New York tahun 1962. Ia juga ditunjuk sebagai Ketua Penggerak Musyawarah Besar Rakyat Irian Barat yang bertujuan untuk mempersiapkan langkah penyatuan Irian Barat menjelang berlangsungnya Pepera.
Salah satu cara Frans dalam melancarkan penyatuan Irian Barat ke dalam Indonesia adalah dengan melakukan kampanye ke berbagai kabupaten. Mulai dari Merauke, Jayawijaya, Paniai, Fak-fak, Sorong, Manokwari, Teluk Cendrawasih, hingga Jayapura.
Frans terus berusaha meyakinkan setiap anggota dewan di daerah-daerah tersebut untuk memilih bergabung dengan Indonesia, alih-alih memerdekakan diri. Meskipun sebenarnya saat itu terdapat beberapa kecurangan yang menodai pelaksanaan Pepera, tapi pada akhirnya pemerintah Indonesia memenangkan Pepera.
Pada tahun 1962, perwakilan dari Pemerintah Indonesia dan Belanda bertemu di Markas Besar PBB di New York. Perundingan yang diberi nama Perjanjian New York itu bertujuan untuk menentukan kepemilikan wilayah Irian Barat.
Pada tanggal 1 Mei 1963, Perserikatan Bangsa-Bangsa secara resmi menyerahkan Irian Barat pada pemerintah Indonesia. Frans terpilih menjadi delegasi Indonesia yang menyaksikan proses pengesahan hasil Pepera di markas Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York. Sayangnya, di sana ia dijaga ketat dan tak diberikan kesempatan untuk menyatakan pendapatnya sama sekali.
4. Kepindahan ke Jakarta
Setelah beberapa tahun menjabat sebagai Gubernur Papua, Frans Kaisiepo pun pensiun. Keberhasilannya dalam memenangkan Pepera membuatnya dipindahkan ke Jakarta oleh pemerintah Indonesia.
Di Jakarta, Frans Kaisepo kemudian diperbantukan sebagai pegawai berjabatan tinggi di Kementrian Dalam Negeri. Kemudian ia diangkat sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1972.
Ia juga diangkat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Republik Indonesia periode 1973–1979. Pengabdiannya itu terus ia lakukan sampai ia meninggal dunia.
Baca juga: Biografi Maria Walanda Maramis, Pejuang Emansipasi Wanita dari Minahasa
Kehidupan Keluarga
Hal yang perlu disebutkan pada biografi Frans Kaisiepo adalah perihal pernikahannya. Selain karena ia menikah dua kali, tapi juga karena istri keduanya berasal dari suku yang berbeda, yaitu Jawa.
Frans menikah dengan Anthomina Arwam dan memiliki tiga anak, yaitu Beatrix Kaisiepo Wanma, Susana Kaisiepo Manggaprouw, dan Manuel Kaisiepo. Setelah Anthomina wafat, Frans menikah dengan Maria Magdalena Moorwahyuni, seorang gadis dari Demak, Jawa Tengah, pada tanggal 12 November 1973. Dari pernikahan tersebut, Frans dikaruniai 1 anak laki-laki bernama Victor Kaisiepo.
Baca juga: Biografi Steve Jobs, Sosok Pendiri Apple yang Memiliki Ambisi Luar Biasa
Akhir Hayat Frans Kaisiepo
Frans Kaisiepo wafat pada tanggal 10 April 1979 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cendrawasih, Biak, Papua. Kematian pahlawan nasional ini sangat misterius. ‘
Beberapa hari sebelumnya, Frans dikabarkan tengah berobat di rumah sakit. Namun, keluarganya kemudian dikabari kalau Frans meninggal karena mengalami serangan jantung.
Kematian Frans dikatakan mencurigakan karena saat itu ia tengah berencana mengungkap kebenaran tentang adanya penipuan dalam pelaksanaan Pepera.
Baca juga: Biografi Albert Einstein, Sang Penemu Teori Relativitas
Peninggalan Frans Kaisiepo
Ketika membicarakan Frans Kaisiepo dalam biografi, tentu saja kita tidak boleh melewatkan pembahasan tentang penghargaan yang diberikan oleh pemerintah Indonesia. Sebagai bentuk penghargaan atas jasa-jasanya, pada tanggal 14 September 1993, pemerintah Indonesia mengeluarkan Keppres No.77/TK/1993 yang menobatkan Frans Kaisiepo sebagai pahlawan.
Namanya juga diabadikan sebagai nama salah satu kapal perang TNI AL yang memiliki nomor seri 368, KRI Frans Kaisiepo, juga nama bandara internasional di Pulau Biak.
Pada tahun 2016, Pemerintah dan Bank Indonesia resmi meluncurkan 11 desain baru rupiah yang terdiri dari 7 pecahan uang kertas dan 4 pecahan uang logam. Salah satunya adalah lembar 10.000 yang bergambar Frans Kaisiepo.
Sayangnya, awalnya ada beberapa orang yang memberikan komentar rasis dan tidak sopan pada sang pahlawan dari Papua itu melalui akun media sosialnya. Orang-orang yang mengenalnya pun langsung naik pitam mengetahui komentar tersebut. Bahkan, salah satu komedian Indonesia, Arie Kriting, sampai menuliskan cuitan dengan penuh kekesalan.
Baca juga: Inilah Biografi Chairil Anwar, Penyair yang Mendapat Julukan Si Binatang Jalang
Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Biografi Frans Kaisiepo
Setelah membaca biografi Frans Kaisiepo di artikel ini, apakah Anda semakin mengenali sosok sang pahlawan nasional dari Irian Barat? Apakah Anda dapat merasakan semangat juangnya dalam menyatukan Irian Barat dan Indonesia?
Dengan semakin mengenali sosoknya, semoga saja rakyat Indonesia dapat semakin menghargai segala jasa-jasa yang sudah diberikan Frans Kaisiepo untuk Indonesia. Sehingga kejadian orang-orang yang memberikan komentar rasis pada seorang pahlawan itu tidak akan terjadi lagi.
Lagipula, bukankah Presiden Soekarno pernah menyebutkan kalau bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya? Sehingga jauh lebih bijak jika rakyat Indonesia berusaha untuk terus mengingat, menghargai, dan belajar dari para tokoh di masa lalu.