
Dewi Sartika adalah pahlawan wanita yang memperjuangkan hak perempuan untuk memperoleh pendidikan dengan layak. Tanpa perjuangannya, kaum wanita masa kini mungkin belum tentu bisa merasakan pendidikan. Kalau Anda ingin mengikuti sepak terjangnya, langsung saja baca ulasan biografi lengkap Dewi Sartika ini.
Membicarakan tentang pejuang emansipasi wanita, mungkin yang pertama kali muncul di benak Anda adalah R.A. Kartini. Namun, ada satu lagi Srikandi yang juga tak kalah gigih untuk memperjuangkan hak-hak wanita, yaitu Dewi Sartika. Jika ingin tahu lebih banyak tentangnya, Anda bisa membaca informasi lengkapnya lewat biografi Dewi Sartika berikut.
Pahlawan nasional yang lahir pada tanggal 4 Desember 1884 ini merupakan salah satu orang yang beruntung karena lahir di keluarga bangsawan yang sudah melek pendidikan dan berpikiran terbuka. Sedari kecil, ia sudah mengenyam pendidikan yang notabene sangat langka pada saat itu. Biasanya, kaum laki-laki bangsawan sajalah yang bisa bersekolah, sedangkan wanita tidak.
Dewi Sartika merasa begitu prihatin dengan keadaan tersebut. Ia lalu menggunakan hak istimewa yang dipunyainya untuk membantu kaumnya memperoleh pendidikan yang layak. Terlebih lagi, sang suami pun turut mendukung gagasannya. Kemudian pada tahun 1904, ia resmi mendirikan sekolah khusus untuk para perempuan yang diberi nama Sakola Istri.
Nah, yang baru saja Anda baca hanyalah sedikit informasi tentangnya. Kalau ingin memuaskan rasa penasaran Anda tentang pejuang wanita yang satu ini, lebih baik langsung saja baca ulasan biografi Dewi Sartika di bawah ini!
Sepenggal Kisah Hidup Dewi Sartika
Salah satu hal yang mungkin ingin Anda ketahui saat mencari biografi Dewi Sartika adalah mengenai kehidupan masa lalunya. Nah, rasa penasaran Anda akan terjawab setelah membaca ulasan berikut ini.
1. Masa Kecil dan Pendidikan
Seperti halnya R.A. Kartini, Dewi Sartika lahir di kalangan keluarga bangsawan yang disegani. Ayahnya merupakan seorang patih bernama Raden Rangga Somanegara. Sedangkan ibunya bernama Raden Ayu Rajapermas yang merupakan anak dari Bupati Bandung saat itu, yaitu R.A.A. Wiranatakusumah IV.
Pada zaman dulu, Anda mungkin sudah tahu kalau biasanya hanya anak laki-laki dari kalangan bangsawan yang mengenyam pendidikan, kan? Namun Somanegara tak pilih kasih, beliau menyekolahkan semua putra-putrinya agar mendapatkan pendidikan yang sama, termasuk Dewi Sartika.
Uwi, panggilan kecil Dewi Sartika, menempuh pendidikan di Eerste Klasse School (setara sekolah dasar). Di sini, ia belajar menulis, berhitung, bahasa Belanda dan pengetahuan yang lainnya. Ia pun tergolong murid yang cerdas sehingga bisa mengerti apa yang diajarkan dengan lebih cepat.
Sayangnya, pendidikannya harus berhenti di kelas dua saja karena sang ayah diasingkan ke Ternate, Maluku. Hal itu dikarenakan sang ayah diduga menentang kebijakan Pemerintah Hindia Belanda. Ibunya pun turut mendampingi suaminya pergi ke pengasingan.
Baca juga: Biografi Nelson Mandela, Pejuang Gerakan Anti-Apartheid yang Disegani Dunia
2. Terpaksa Ikut Kerabat
Akibat pengasingan tersebut, Uwi yang saat itu baru berusia 10 tahun harus tinggal terpisah dengan saudara-saudaranya. Ia dititipkan pada pamannya, yaitu Raden Demang Suria Kartahadiningrat yang tinggal di Cicalengka.
Pamannya juga merupakan orang yang sangat disegani dan dikenal berbudi luhur. Tak sedikit pula anak bangsawan yang dititipkan di rumah Raden Demang untuk diajari menjadi seorang bangsawan yang baik, terutama kaum lelaki.
Kalau berpikiran Uwi kecil akan diperlakukan oleh pamannya dengan baik, Anda kurang tepat. Pasalnya, pengasingan ayahnya dianggap sebagai aib bagi para bangsawan sehingga membuatnya diperlakukan kurang baik. Ia disuruh untuk melakukan pekerjaan selayaknya pembantu. Tidurnya pun di kamar untuk pelayan.
Namun, hal itu tak membuatnya berkecil hati. Justru karena semua tugas rumah yang diberikan itulah, ia menjadi terampil melakukan banyak hal, di antaranya adalah memasak, menjahit, menyulam, dan merenda.
Ia juga ditugaskan untuk mengantar para sepupunya belajar bahasa Belanda ke rumah seorang warga Belanda. Tugasnya hanyalah mengantar saja dan tidak diperbolehkan untuk belajar. Bisa Anda bayangkan betapa sedih hatinya kala itu?
Tapi, hal tersebut tak membuatnya kehilangan akal. Saat para sepupunya sedang belajar, Ia sering kali mengintip dari balik pintu dan ikut belajar bahasa Belanda yang sedang diajarkan. Ia juga mendengarkan dengan seksama pelafalannya yang benar.
3. Sejak Kecil Sudah Berjiwa Pendidik
Kepedulian Dewi Sartika terhadap pendidikan kaumnya memang sudah terlihat sejak kecil. Sepulang dari mengantar sepupu-sepupunya belajar, ia kemudian bermain sekolah-sekolahan dengan dengan anak-anak pembantu seusianya yang tidak pernah berkesempatan untuk belajar. Perannya di situ adalah menjadi seorang guru.
Tapi tak hanya sekadar bermain, ia benar-benar mengajari mereka bagaimana caranya membaca dan menulis seperti apa yang dipelajarinya saat menunggu sepupunya itu. Alat-alat yang dipakainya pun sederhana, yaitu menggunakan pecahan genting sebagai media pengganti buku, dan arang yang digunakan sebagai pengganti pena.
Penduduk desa pun dibuat gempar saat mengetahui banyak anak-anak, terutama dari kalangan rakyat jelata dapat membaca, menulis, dan berbahasa Belanda. Terlebih lagi, yang mengajari adalah seorang anak perempuan, yaitu Uwi.
Kegiatannya tersebut berlangsung sampai beberapa tahun. Hingga pada saat usianya menginjak 18 tahun, Dewi Sartika memutuskan untuk kembali ke Bandung karena sang ibu sudah kembali dari pengasingan. Ayahnya tidak kembali karena sudah wafat saat menjalani hukuman pengasingan. Demikianlah sedikit mengenai kisah masa kecil Dewi Sartika yang bisa Anda baca lewat ulasan biografi lengkap ini.
Baca juga: Biografi Steve Jobs, Sosok Pendiri Apple yang Memiliki Ambisi Luar Biasa
Momentum yang Melatarbelakangi Dewi Sartika Memperjuangkan Pendidikan bagi Wanita
Di biografi Dewi Sartika ini, Anda juga akan mengetahui hal apa sebenarnya yang mampu mendorongnya untuk memperjuangkan hak kaum perempuan supaya memperoleh pendidikan. Kalau penasaran, langsung saja simak kelanjutannya, ya!
Di antara gadis-gadis seusianya, Dewi Sartika adalah satu-satunya perempuan yang sempat mengenyam pendidikan. Maka dari itu, dia sering sekali diminta oleh teman-teman perempuannya untuk membacakan surat dari laki-laki yang tertarik dengan mereka atau tunangan mereka.
Ternyata, Ia mempunyai sifat yang lumayan jahil. Ia sering kali mengerjai para gadis itu dan mengubah maksud surat yang dibacanya. Bahkan, ada pula yang sampai mengalami putus cinta.
Namun lewat peristiwa tersebut, Dewi Sartika menjadi sadar kalau teman-temannya gampang sekali dibodohi karena tidak pernah menempuh pendidikan. Perempuan hanya diajari mengenai adat dan keterampilan untuk mengurus rumah tangga saja. Hal itulah yang membuat wanita dicap lemah karena hanya bisa menggantungkan hidupnya pada suaminya kelak.
Dewi Sartika ingin mengubah keadaan, salah satunya dengan mengajari para wanita untuk bisa membaca dan menulis supaya tidak mudah dibodohi. Tentu saja, perjuangannya tidaklah mudah. Terlebih lagi di desa pamannya, ia masih di kelilingi oleh orang-orang kolot yang masih memegang teguh adat kalau perempuan tak perlu bersekolah.
Cicalengka mungkin memang mengajarkan banyak hal pada Dewi Sartika, baik keterampilan hidup maupun ilmu eksak. Tapi, Ia tak dapat mewujudkan cita-citanya di sana. Maka dari itu, pada tahun 1902, ia kembali pindah ke Bandung dan berkumpul bersama dengan ibu dan saudara-saudaranya dan berencana mendirikan sekolah khusus untuk perempuan.
Baca juga: Inilah Biografi Chairil Anwar, Penyair yang Mendapat Julukan Si Binatang Jalang
Perkembangan Sekolah Perempuan Pertama di Indonesia
Selanjutnya dalam biografi Dewi Sartika ini, Anda akan membaca mengenai perjuangan Dewi Sartika mendirikan sekolah. Mulai dari menghadapi penolakan hingga bisa sukses mewujudkan cita-citanya itu.
1. Merintis dan Resmi Mendirikan Sekolah
Sesampainya di Bandung pada tahun 1902, ia membulatkan tekad untuk membangun sekolah bagi para perempuan. Nantinya, para murid akan diajari semua keahlian yang dipunyainya. Tak hanya mengenai keterampilan praktis, tapi juga baca tulis. Target muridnya adalah anak-anak perempuan dari kalangan rakyat biasa yang tidak mempunyai biaya untuk bersekolah.
Dewi Sartika kemudian menghadap Bupati Bandung, R.A.A Martanegara dan menyampaikan keinginannya untuk mendirikan sekolah. Sayangnya, gagasannya langsung ditolak mentah-mentah oleh sang bupati. Alasannya penolakannya tak lain dan tak bukan adalah karena pendidikan wanita tidaklah lazim di zaman itu.
Namun hal tersebut tidak membuatnya patah semangat. Beberapa waktu kemudian, ia mencoba kembali untuk meyakinkan Bupati Martanegara. Melihat kegigihannya, sang bupati pun kemudian menyetujui pendirian sekolah untuk anak-anak perempuan.
Namun untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, bupati menyarankan agar sekolahnya memakai Pendopo Kabupaten Bandung terlebih dahulu. Jika semuanya berjalan dengan lancar dan murid semakin banyak, maka ia diperbolehkan untuk pindah ke tempat lain. Lalu pada tanggal 16 Januari 1904, Dewi Sartika pun resmi mendirikan sekolah yang di beri nama Sakola Istri.
Di tahun pertama, Sakola Istri mendapatkan 20 orang murid. Mereka kebanyakan adalah anak-anak pegawai yang bekerja di kantor kabupaten. Sedangkan tenaga pengajar ada tiga orang, yaitu Dewi Sartika, Poerma, dan Oewit.
Di sana, anak-anak tidak hanya mengajari keterampilan rumah tangga, seperti memasak, menyulam, menjahit, dan lain-lain. Tapi, Dewi Sartika juga mengajarkan pelajaran agama Islam dan bahasa Belanda. Itulah kisah awal mula berdirinya sekolah Dewi Sartika yang bisa Anda baca di biografi lengkap ini.
Baca juga: Biografi Albert Einstein, Sang Penemu Teori Relativitas
2. Semakin Berkembang dan Ganti Nama
Sekolah tersebut mendapatkan respon yang luar biasa dan perkembangannya pun cukup pesat. Setelah setahun buka, semakin banyak siswi yang mendaftar dan tempatnya tidak mampu lagi untuk menampung jumlah mereka.
Di tahun 1905, Sakola Istri kemudian berpindah ke sebuah gedung di Jalan Ciguriang yang mempunyai bangunan lebih luas. Jumlah tenaga gurunya juga ikut bertambah. Setelah mengajar murid-murid selama beberapa tahun, sekolah itu akhirnya dapat meluluskan siswi-siswinya pertama kali pada tahun 1909.
Kemudian pada tahun 1910, sekolah itu berganti nama menjadi Sakola Dewi Sartika. Karena semakin banyak para wanita yang ingin menempuh pendidikan, Dewi Sartika kemudian membuka beberapa sekolah lagi di 9 kabupaten di Priangan, benar-benar sebuah prestasi yang luar biasa.
Pada tahun 1914, namanya kembali berganti menjadi Sakola Kaoetamaan Istri. Nah, inilah informasi mengenai perkembangan sekolah yang didirikan oleh Dewi Sartika yang bisa Anda baca di ulasan biografi lengkap ini.
Kisah Cinta Dewi Sartika
Dalam ulasan Dewi Sartika ini, Anda sudah membaca tentang masa kecil dan kegigihannya dalam memperjuangkan hak pendidikan untuk kaum wanita. Nah, masih ada informasi menarik lagi yang patut untuk Anda baca, yaitu mengenai kisah cintanya yang manis dan romantis.
Mungkin Anda sudah mempunyai gambaran kalau zaman dahulu wanita menikah di usia yang masih sangat muda, kan? Nah, pada waktu itu, usia Dewi Sartika sudah menginjak 20 tahun dan masih sibuk-sibuknya mengurus sekolah yang baru saja didirikan. Hal itu membuat sang ibu khawatir kalau anaknya tidak mau berumah tangga karena terlalu serius dengan pekerjaannya.
Hingga kemudian datanglah pinangan dari keluarga Pangeran Djajadiningrat yang bisa membuat ibunya bernafas lega. Jika ada yang meminang itu berarti anak perempuannya akan segera mempunyai pendamping hidup. Sayangnya, Dewi Sartika menolak dengan halus pinangan tersebut karena ternyata sudah mempunyai kekasih hati.
Namanya adalah Raden Agah Kanduran Suriawinata. Ia merupakan seorang guru di Eerste Klasse School Karang Pamulang dan seorang duda beranak dua.
Mengetahui hal itu, tentu saja sang ibu tidak menyetujuinya. Terlebih lagi, Raden Agah bukanlah berasal dari golongan ningrat. Namun, Dewi Sartika sudah membulatkan tekad dan yakin ingin menghabiskan hidupnya bersama pria pilihannya. Baginya, Raden Agah adalah pria baik yang begitu jujur dan penyayang.
Sang sahabat, Nyi Oewit, juga mempertanyakan pilihan yang Dewi Sartika buat. Tapi dengan sepenuh hati ia menjawab sudah mantap menikah dengan Raden Agah dan menjadi ibu dari anak-anaknya.
Akhirnya, Raden Ayu Rajapermas pun menyetujui pernikahan dua sejoli yang bertemu pertama kali saat acara pengajian di Pendopo Kabupaten Bandung itu. Pada tahun 1906, di usianya yang menginjak 22 tahun, Dewi Sartika resmi dipersunting oleh Raden Agah.
Tentu saja, pernikahannya bukanlah sebuah keputusan yang akan ia sesali. Karena, Raden Agah memang orang baik dan sangat mendukung cita-cita istrinya yang menginginkan pendidikan yang lebih baik dari kaum perempuan.
Menghadapi Masa-Masa Sulit hingga Wafat
Lewat biografi Dewi Sartika ini, Anda juga akan menyimak mengenai masa-masa sulit yang ia alami setelah kejayaannya membangun sekolah perempuan. Hal itu dimulai ketika sang suami meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1939. Ia berjuang sendirian mengurus sekolah-sekolahnya. Namun karena umurnya yang sudah tidak muda lagi, semakin lama kesehatannya pun semakin menurun.
Kemudian pada tahun 1940 meletuslah Perang Dunia II yang membuat kondisi Hindia Belanda kocar-kacir, termasuk pula sekolah yang dibangun oleh Dewi Sartika. Sekolah-sekolah yang dibangunnya kemudian mengalami kekurangan, baik dari segi keuangan maupun peralatan. Bantuan yang diberikan oleh Pemerintah Bandung pun tidak bisa menutupi.
Pada tahun 1942, keadaan pun masih sama dan bisa dikatakan semakin buruk setelah Jepang mengambil alih Indonesia. Ia harus bekerja lebih keras lagi agar sekolah yang sudah dibangunnya dengan susah payah tetap bisa beroperasi.
Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, kondisinya juga tidak kunjung membaik. Terlebih lagi, dua tahun kemudian Belanda kembali datang dan memporak-porandakan negeri ini dan membuat suasana menjadi tambah genting. Akhirnya, Dewi Sartika pun terpaksa meninggalkan sekolah yang susah-susah dibangunnya dan mengungsi.
Ia berpindah dari Ciparay, Garut, Ciamias, hingga ke Cineam. Bagi dirinya yang sudah tidak muda lagi, keadaan tersebut membuatnya cukup kesulitan. Semakin lama kesehatannya makin menurun kemudian jatuh sakit.
Sulitnya mencari obat-obatan membuat penyakitnya semakin parah. Ia dilarikan ke rumah sakit, tapi semuanya sudah terlambat. Pada tanggal 11 September 1947, ia kemudian menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 63 tahun.
Dewi Sartika dimakamkan dengan cara sederhana di Cineam. Setelah situasi membaik, makamnya kemudian di pindahkan ke Bandung.
Penghargaan yang Diperoleh Dewi Sartika
Semasa hidupnya, Dewi Sartika mendapatkan apresiasi karena perjuangan gigihnya untuk merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Salah satunya yang bisa Anda baca dalam biografi ini adalah bintang perak yang diperolehnya dari Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 karena jasa-jasanya.
Kemudian di tahun 1929, bertepatan dengan 25 tahun berdirinya Sakola Isteri, pemerintah memberikan sebuah gedung baru yang lebih luas. Sekolah itu kemudian berganti nama menjadi Sekolah Raden Dewi sebagai bentuk penghormatan atas perjuangannya.
Selanjutnya, tahun 1939 merupakan puncak karier Dewi Sartika. Bertepatan dengan peringatan 35 tahun berdirinya Sekolah Raden Dewi, ia mendapatkan bintang emas dan penghargaan Orde Van Oranje Nassau dari pemerintah Hindia Belanda.
Setelah wafat, pemerintah tentu tidak melupakan jasanya begitu saja. Dewi Sartika diberi gelar sebagai pahlawan nasional pada tanggal 1 Desember 1966. Sosoknya juga diabadikan dalam prangko bernilai 15 sen pada tahun 1969.
Selain itu, Pemerintah Bandung juga mengabadikan sosoknya dengan membuat patung yang di tempatkan di Taman Balai Kota. Patung tersebut diresmikan pada tanggal 4 Desember 1996 oleh Wahyu Hamijaya yang merupakan Wali Kota Bandung saat itu. Kalau Anda sedang ingin merencanakan liburan ke Bandung, tidak ada salahnya melakukan wisata sejarah dengan mengunjungi patung Dewi Sartika.
Teladan yang Dapat Diambil setelah Membaca Biografi Dewi Sartika
Demikianlah informasi lengkap tentang Dewi Sartika yang bisa Anda simak di artikel biografi ini. Bagaimana? Sangat menarik dan menginspirasi, kan?
Nah, dari Dewi Sartika Anda bisa mengambil pelajaran yang teramat penting, yaitu untuk pantang menyerah ketika ingin memulai sesuatu. Meskipun banyak rintangan yang menghadang, tapi kalau Anda yakin bisa melakukannya pasti akan diberikan jalan.
Tak hanya itu saja, ia juga memberikan teladan bagi para wanita untuk tidak sembarangan memilih calon suami, apalagi hanya berdasarkan status sosial saja. Pilihlah pasangan hidup yang mampu menjadi kepala keluarga yang baik, mampu membimbing Anda, dan mau mendukung niat baik yang ingin Anda kerjakan.
Nah selain biografi Dewi Sartika, Anda juga bisa membaca artikel tokoh-tokoh berpengaruh lain yang tidak kalah menariknya. Di antaranya ada biografi Maria Walanda Maramis, Frans Kaisepo, Chairil anwar, hingga Albert Einstein.