
Siapa tak kenal Chairil Anwar? Sosoknya dikenal sebagai penyair bertubuh kurus yang memiliki sifat urakan. Di balik itu semua, ia turut berperan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui puisi-puisi yang ditulisnya. Ingin tahu kisah selengkapnya mengenai penyair ini? Simak artikel ini untuk mendapatkan informasi mengenai biografi Chairil Anwar.
- Nama
- Chairil Anwar
- Tempat, Tanggal Lahir
- Medan, 26 Juli 1922
- Meninggal
- Jakarta, 28 April 1949
- Warga Negara
- Indonesia
- Profesi
- Penyair
- Pasangan
- Hapsah Wiraredja (m. 1946–1948)
- Anak
- Evawani Alissa
- Orang Tua
- Toeloes (Ayah) dan Saleha (Ibu)
Kalau Anda pencinta karya-karya sastra, nama Chairil Anwar tentu sudah tak asing lagi di telinga Anda. Jika ternyata bukan pencinta karya sastra, Anda mungkin pernah membaca biografi singkat Chairil Anwar dan puisi-puisi karyanya di buku-buku pelajaran sekolah.
Meskipun pada tahun 1949, saat usianya belum genap 27 tahun, ia sudah harus berpulang ke rumah Tuhan, tapi ia tidak pernah benar-benar mati. Ia tetap hidup melalui puisi-puisi buatannya yang tak akan pernah lekang oleh waktu.
Apalagi pada tahun 2002, film Ada Apa dengan Cinta? memunculkan kembali puisinya yang berjudul Aku. Mulai dari situ, puisi karya Chairil Anwar berjudul Aku populer di kalangan generasi-generasi muda.
Ya, pada zaman dulu juga sajak Aku terbilang yang paling terkenal di antara puisi-puisi Chairil lainnya. Hingga sebutan Si Binatang Jalang yang diambil dari penggalan puisi tersebut pun jadi julukan untuknya.
Sebutan Si Binatang Jalang ini tampaknya sudah mendarah daging alias melekat pada diri Chairil Anwar. Memang, seberapa nakalnya dia sampai-sampai dianggap jalang?
Jika Anda penasaran dengan jawaban atas pertanyaan tersebut, lebih baik simak biografi Chairil Anwar yang dijabarkan dalam artikel ini. Tak hanya soal kehidupannya saja, di bawah ini juga kami rangkum koleksi puisinya, kasus plagiat yang menimpanya, hingga fakta menariknya. Selamat membaca!
Sepenggal Kisah Hidup Chairil Anwar
Membahas biografi Chairil Anwar, rasanya kurang lengkap jika tidak mengulik kehidupan pribadi dari penyair ini. Jika Anda sudah penasaran dan ingin segera tahu bagaimana masa muda hingga akhir hayat Chairil Anwar, mending simak langsung ulasan singkatnya berikut ini!
1. Masa Kecil hingga Remaja
Penyair asal Medan ini merupakan anak tunggal dari Toeloes dan Saleha. Sang ayah berasal dari Nagari Taeh, sedangkan sang ibu dari Kota Gadang, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera.
Kehidupan Chairil Anwar dan keluarganya tergolong cukup mapan, karena sang ayah semasa hidupnya menjadi pegawai negeri yang bekerja pada pemerintah kolonial. Jabatan terakhir Toeloes sebelum berpulang ke rumah Tuhan adalah sebagai Bupati Indragiri, Riau.
Memiliki kehidupan mapan dan tergolong bangsawan, orangtua Chairil Anwar mampu menyekolahkannya di sekolah Sekolah Rendah atau setara dengan Sekolah Dasar (SD) di Hollandsch-Inlandsche School (HIS). HIS sendiri adalah sekolah pada zaman penjajahan Belanda yang diperuntukkan khusus untuk anak-anak bangsawan.
Setelah lulus dari Sekolah Rendah, ia melanjutkan studinya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) alias Pendidikan Dasar yang Lebih Luas, setara dengan Sekolah Menengah Pertama. Meski masih duduk di bangku SMP, ia kerap membaca buku Hogere Burgerschool disingkat HBS atau setara dengan SMA.
Oleh karena itu, sejak berusia 15 tahun ia sudah memiliki cita-cita untuk menjadi seorang seniman. Berbekal dari buku-buku yang dibacanya, pada usia 18 tahun, ia memutuskan untuk berhenti bersekolah dan merasa tidak harus melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Saat ia berusia 19 tahun, orang tuanya memutuskan untuk bercerai. Chairil yang memiliki jiwa berpetualang memilih untuk tinggal bersama sang ibu, Saleha, di Jakarta (dulu: Batavia). Meskipun sudah tak tinggal bersama, Toeloes masih memberi uang untuk menghidupi anak satu-satunya tersebut.rnrnSaat tinggal di Jakarta, bakatnya dalam dunia sastra semakin terasah. Ia mulai membaca karya-karya sastra dari pengarang-pengarang ternama lokal dan internasional yang banyak memengaruhi gaya penulisannya. Adalah Nisan, yang secara umum dianggap sebagai puisi pertama yang ditulis Chairil Anwar.
2. Masa Dewasa
Tak hanya berkecimpung di dunia sastra, pada masa penjajahan Jepang di Indonesia, Chairil Anwar sempat menjadi penyiar radio milik Jepang. Ia juga pernah menjadi salah satu pegawai Hatta. Namun, hal itu tak bertahan lama. Sebab, passion-nya adalah menjadi seorang seniman, bukan karyawan.rnrnDi dunia para sastrawan, Chairil Anwar dikenal sebagai pemuda bohemian karena sering kelayapan dan tinggal berpindah-pindah. Ia tinggal dari satu kawan ke kawan lainnya, numpang tidur dan makan. Bisa dibilang hidupnya pada masa muda cukup semrawut.
Ia juga kerap mengunjungi lingkungan seniman di Pasar Senen, serta berkunjung ke kawan-kawannya yang bekerja di Balai Pustaka. Salah satu temannya yang sering ia kunjungi adalah Hans Bague Jassin alias H.B. Jassin. Saat itu, Jassin merupakan Wakil Pemimpin Redaksi Pandji Poestaka di Jakarta pada tahun 1943.rnrnJassin kerap mengusulkan puisi-puisi Chairil untuk diterbitkan di Pandji Poestaka. Pada 1942, puisi pertama yang berhasil diterbitkan adalah Nisan yang mengangkat tema kematian. Mulai dari situ, nama Chairil Anwar mulai dikenal masyarakat.
Selain Nisan, Jassin juga menerbitkan puisi milik Chairil yang berjudul 1943 di halaman Pandji Poestaka pada 1 Januari 1944. Pada tahun 1945, Jassin tak lagi menjabat menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Pandji Poestaka, melainkan menjadi Wakil Pemimpin di Redaksi Pantja Raja.
Di redaksi tersebut, karya-karya milik Chairil Anwar juga sering diterbitkan. Beberapa di antaranya adalah puisi berjudul Betina’-nya Affandi, Buat Album D.S., Catetan Tahun 1946, dan lain-lain.
Semenjak puisi-puisinya diterbitkan, nama Chairil Anwar makin populer. Dengan kata lain, kiprahnya di dunia sastra ini tak lepas dari bantuan sahabatnya, H.B. Jassin.
Baca juga: Biografi Albert Einstein, Sang Penemu Teori Relativitas
3. Menikah dengan Hapsah Wiriaredja
Pada 6 September 1946, tepat di usianya yang ke-23, Chairil memutuskan untuk menikahi pujaan hatinya, Hapsah Wiriaredja setelah 3 bulan berpacaran. Mereka dikaruniai seorang putri cantik yang diberi nama Evawani Alissa. Hapsah sendiri adalah seorang wanita biasa, yakni pegawai di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sayangnya, bahtera rumah tangga mereka ternyata lebih sering dilalui dengan pertengkaran. Salah satu alasan utama yang memicu pertengkaran adalah gaya hidup Chairil yang urakan dan parahnya, ia tak berpenghasilan.
Pada awal-awal pernikahan, sebenarnya Chairil sempat bekerja menjadi editor di sebuah percetakan. Hanya saja, ia tak bisa menjalani hidup sebagai seorang karyawan. Ia tak bisa terikat dan tidak bisa diperintah orang lain. Hal itu diungkapkan oleh sang istri yang kerap dipanggil Gajah oleh Chairil pada majalah Intisari di tahun 1971.
Hari-hari pria yang hobi merokok ini lebih banyak diisi dengan membaca dan kelayapan ke tempat-tempat yang disukainya. Kehidupan mereka jadi serba kekurangan. Tak ingin berlama-lama hidup dalam kondisi keuangan yang morat-marit, pada tahun 1948, Hapsah menceraikan Chairil.
4. Akhir Hayat
Anda masih bersemangat untuk melanjutkan artikel yang mengulas biografi Chairil Anwar ini, kan? Pascaperceraian dengan istirinya yang dipanggil Gajah, kehidupan Chairil berantakan.
Ia tak lagi produktif dalam berkarya. Apalagi, kesehatannya semakin memburuk. Penyakit paru-paru akut dan disentri terus mengganggu hidupnya. Bahkan, ia harus dilarikan ke rumah sakit Cipto Mangunkusumo yang dulu disebut dengan CBZ karena penyakit tuberkulosis.
Hingga akhirnya, pada 28 April 1949, di umur yang belum genap 27 tahun, Chairil Anwar meninggal karena tak kuasa menahan penyakitnya. Kepergiannya itu tentu membuat orang-orang terdekatnya merasa kehilangan. Untuk mengenangnya, tanggal kematiannya ini didedikasikan sebagai Hari Puisi Nasional.
Koleksi Puisi Chairil Anwar
Dalam buku berjudul Chairil Anwar: Pelopor Angkatan 45 (1956), H.B. Jassin menyebut jika sahabatnya itu telah menghasilkan 94 tulisan pada periode 1942–1949. Karya-karyanya terdiri dari 70 sajak asli, 4 saduran, 10 sajak terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan.
Kebanyakan puisi-puisi asli Anwar dimasukkan dalam versi koleksinya. Apa sajakah itu? Anda bisa menyimak beberapa versi koleksi puisinya yang telah diterbitkan di bawah ini!
1. Deru Tjampur Debu
Koleksi puisi penyair yang juga disebut Pemuda Bohemian ini dicetak oleh penerbit Pembangunan pada tahun 1949. Puisi Aku, yang dianggap khalayak sebagai sajak paling terkenal milik Chairil Anwar juga terdapat dalam Deru Tjampur Debu.
Selain itu, ada 26 puisinya yang lain diterbitkan dalam koleksi puisi ini. Beberapa di antaranya adalah Buat Album D.S, Catetan Tahun 1946, Cerita Buat Dien Tamaela, dan masih banyak lagi.
Baca juga: Biografi Steve Jobs, Sosok Pendiri Apple yang Memiliki Ambisi Luar Biasa
2. Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
Sama dengan Deru Tjampur Debu, Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus juga diterbitkan pada tahun 1949 oleh penerbit Pustaka Rakjat. Buku yang berisi koleksi puisi Chairil Anwar ini terdiri dari dua bagian.rnrnBagian pertama berisi 32 puisi, sedangkan yang kedua terdiri dari 11 puisi. Beberapa puisi yang diterbitkan adalah Ajakan, Bercerai, Cerita, Dendam, dan lain-lain. Sajak Aku juga diterbitkan dalam koleksi puisi ini.
3. Tiga Menguak Takdir
Koleksi puisi Tiga Menguak Takdir diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1950. Kenapa diberi judul Tiga? Pasalnya, koleksi puisi ini berisi sajak-sajak dari tiga sastrawan, yakni Rival Apin, Asrul Sani, dan Chairil Anwar.
Di dalam koleksi ini, ada 10 puisi karya Chairil. Beberapa di antaranya adalah Derai-Derai Cemara, Krawang-Bekasi, Sajak buat Basuki Resobowo, dan lain-lain.
Sajak tentang Perjuangan
Jika sebelumnya telah membahas singkat mengenai kisah kehidupan Chairil Anwar, topik selanjutnya yang menarik untuk diulik. dalam biografi Chairil Anwar adalah karyanya yang menyinggung tentang perjuangan. Chairil memang dikenal sebagai seorang laki-laki yang memiliki tubuh kurus dengan kehidupan yang semrawut. Meskipun begitu, Chairil bukanlah seorang pengecutrnrnDengan tubuhnya yang kurus kering, ia mungkin tak bisa melawan penjajah yang saat itu menyerang negara kita. Tapi, bentuk perjuangan Chairil Anwar adalah melalui puisi-puisi yang ditulisnya.
Tahun 1943 mungkin bisa dianggap sebagai tahun perjuangan Chairil Anwar, di mana Jepang saat itu menduduki Indonesia. Pasalnya, pada tahun itu, ia menulis puisi berjudul Siap Sedia yang berisi bait-bait penyemangat para pejuang perang. Puisi tersebut dianggap anti-Jepang, sehingga Chairil ditangkap dan disiksa oleh Kempeitai alias polisi militer Jepang yang terkenal sadis.
Tak hanya itu, pada tahun 1943, Chairil juga menulis sajak berjudul Aku yang berisi tentang keberanian dalam berjuang apa pun risikonya. Aku kemudian diterbitkan oleh majalah Timur pada tahun 1945. Puisi tersebut kemudian dianggap sebagai pendobrak cara berpuisi. Sejak saat itu, ia dijuluki sebagai “Binatang Jalang” yang dikutip dari bait pada puisi Aku.
Selain dua puisi tersebut, masih banyak puisi-puisinya yang menggambarkan perjuangan Indonesia saat mengusir para penjajah. Beberapa di antaranya adalah Diponegoro (1943), Krawang-Bekasi (1948), Persetujuan dengan Bung Karno (1948), dan lain-lain.
Baca juga: Biografi Nelson Mandela, Pejuang Gerakan Anti-Apartheid yang Disegani Dunia
Para Perempuan di Balik Puisi-Puisinya
Di artikel tentang biografi Chairil Anwar ini, mungkin salah satu bahasan yang paling Anda tunggu adalah kisah asmaranya yang tertulis dalam sajak-sajak puitis nan romantis miliknya. Dalam urusan asmara, penyair asal Medan ini jago memikat perempuan.rnrnSejumlah nama-nama perempuan tak luput dari karyanya. Siapa saja mereka? Dan, apa saja puisi Chairil Anwar yang menggambarkan tentang cinta? Berikut beberapa nama perempuan yang pernah disebutkan dalam puisi yang ditulisnya!
1. Ida Nasution
Anda masih belum familier dengan Ida Nasution? Ia adalah seorang penulis esai dan penerjemah yang pernah menjadi redaktur di ruang Gelanggang pada majalah Siasat.
Ia juga pernah bekerja di kantor bentukan Jepang, di mana para sastrawan berkumpul, termasuk Chairil Anwar. Dari situlah mereka mulai bertemu dan berteman. Tak butuh waktu lama, Chairil Anwar jatuh hati pada Ida Nasution.
Pada Februari 1943, ia menulis puisi berjudul Ajakan, di mana nama Ida tertulis di bait pertama. Dalam puisi tersebut, Chairil Anwar menggambarkan dirinya sebagai kabut tebal dan hitam, sedangkan Ida digambarkan sebagai cahaya yang menerangi hidupnya. Tak hanya Ajakan, Ida Nasution juga disebut-sebut dalam puisi-puisinya yang lain, yakni Bercerai dan Merdeka.
Meskipun puisinya terbilang romantis, sayangnya, Ida tak menyambut dengan baik perasaan Chairil Anwar. Kepada H.B. Jassin, Ida pernah berkata bahwa tak ada yang bisa diharapkan dari si binatang jalang yang hidupnya tidak karuan tersebut.
Pada tahun 1948, nasib Ida berakhir tragis. Saat usianya menginjak 24 tahun, ia hilang tanpa bekas dalam perjalanan dari Jakarta ke Bogor. Atas kejadian nahas tersebut, penyair bertubuh kurus kering ini menulis puisi berjudul Selama Bulan Menyinari Dadanya.
Baca juga: Biografi Ahmad Yani, Pahlawan Revolusi yang Cemerlang di Bidang Militer Sejak Muda
2. Sri Ajati
Jika menyimak artikel tentang biografi Chairil Anwar ini dari awal, mungkin Anda masih ingat jika ia pernah bekerja sebagai seorang penyiar radio. Ternyata, saat itu ia juga sempat jatuh cinta dengan salah satu rekannya, Sri Ajati.
Akan tetapi, Chairil tak pernah mengungkapkan perasaannya langsung kepada Sri. Sebab, saat itu wanita yang dicintainya telah memiliki tunangan, yakni seorang dokter bernama Soeparsono.
Pada bulan Maret 1943, ia menulis puisi untuk Sri Ajati dengan judul Hampa. “Kepada Sri. Sepi di luar. Sepi menekan mendesak. Lurus kaku pohonan. Tak bergerak…” adalah sepenggal bait dari Hampa.
Tak hanya itu saja, Chairil Anwar juga menulis sajak berjudul Senja di Pelabuhan Kecil (1946) untuk Sri Ajati. Hal tersebut terlihat dari bait pertama, yakni “Buat Sri Ajati.”
3. Gadis Rasid
Anda masih belum bosan menyimak artikel tentang biografi Chairil Anwar ini, bukan? Selain Ida Nasution dan Sri Ajati, Gadis Rasid juga pernah menjadi perempuan dalam sajak indah Chairil Anwar.
Gadis Rasid merupakan wartawan surat kabar Pedoman dan majalah mingguan Siasat. Dalam buku Mengenang Hidup Orang Lain (2010), Ajip Rosidi mengungkapkan bahwa perempuan tersebut adalah seorang yang ulet dan gigih. Ia selalu mengerjakan tugasnya dengan sungguh-sungguh.
Oleh karena itu, pada tahun 1948, Chairil membuat puisi berjudul Buat Gadis Rasid. Lagi-lagi, perasaannya tersebut tak dibalas oleh wanita yang ia sukai. Sebab, Gadis telah menambatkan hati pada pria lain, yakni Henk H. Rondonowu.
4. Sumirat
Di Pantai Cilincing, Chairil yang duduk tenggelam dalam sebuah buku, membuat wanita yang akrab disapa Mirat ini jatuh hati padanya. Mirat adalah seorang pelukis yang berasal dari desa kecil perbatasan antara Solo dan Madiun, yakni Paron.
Namun, cinta yang dirasakan Mirat ini ternyata tak mendapat persetujuan dari orang tuanya. Ia diminta oleh orang tuanya untuk pulang ke kampung halaman agar tak dekat-dekat lagi dengan Chairil Anwar.
Sebenarnya, Chairil sempat menyusul Mirat ke Paron. Hanya saja, penolakan dari orang tua Mirat yang ia dapatkan. Salah satu puisi yang secara eksplisit menceritakan kisah cintanya dengan sumirat adalah Orang Berdua/Dengan Mirat yang ia tulis pada tahun 1946.
5. Hapsah Wiriaredja
Meski Hapsah adalah satu-satunya wanita yang ia pinang, tapi hampir tak ada satu pun sajak buat wanita ini. Yang ada hanyalah sebaris sajak berjudul Buat H yang bahkan tak ditulis dengan mesin ketik alias hanya ditulis tangan menggunakan pensil.
Sebaris sajak itu ditemukan oleh Hasan Aspahani yang menulis buku tentang biografi Chairil Anwar. Ia mengatakan jika sajak Buat H tidak terbit di mana-mana. Sajaknya ia temukan dalam buku kerja Chairil yang berisi karya-karyanya yang belum selesai.
Tudingan Plagiat
Salah satu topik yang mungkin cukup menarik untuk diulik ketika membahas soal biografi Chairil Anwar adalah kontroversi yang pernah ia buat. Sebelumnya, di artikel yang membahas biografi Chairil Anwar ini sudah disebutkan bahwa ia pernah menulis puisi perjuangan yang berjudul Krawang-Bekasi.
Ternyata puisi yang berbait lantang itu membuatnya mendapatkan tudingan plagiat. Pada tahun 1949, tepat setelah puisi itu diterbitkan, ada seorang sastrawan yang mengatakan pada Hans Bagues Jassin bahwa Krawang-Bekasi sama dengan tulisan The Dead Young Soldiers karya Archibald MacLeish, yakni seniman asal Amerika.
Tak menelan mentah-mentah tudingan tersebut, Jassin membandingkan sendiri karya sahabatnya dengan tulisan milik Archibald. Setelah membandingkannya, ia membuat esai berjudul Karya Asli, Saduran, dan Plagiat pada majalah Mimbar Indonesia.
Dalam esai tersebut, ia tak serta-merta menuduh Chairil Anwar sebagai seorang plagiat. Ia justru membela sahabatnya itu. Menurutnya, meskipun ada beberapa bagian yang mirip, tetap ada ciri khas penulisan Chairil di dalamnya.
Baca juga: Biodata Merry Riana, Sosok Wanita Sukses dalam Buku Mimpi Sejuta Dolar
Fakta Menarik
Anda penasaran dengan apa saja fakta-fakta menarik penyair yang mendapat julukan Si Binatang Jalang ini? Dalam artikel yang mengulik biografi Chairil Anwar ini, telah kami rangkum 4 fakta menariknya. Yuk, simak langsung!
1. Menguasai Empat Bahasa
Meskipun pada usia 18 tahun sudah memutuskan untuk tak melanjutkan pendidikan, siapa sangka, ia berhasil menguasai empat bahasa sekaligus. Selain bahasa Indonesia, ia juga menguasai bahasa Inggris, Belanda, dan Jerman.
Kemampuan dalam menguasai beberapa bahasa tersebut ia dapatkan dari membaca-baca buku. Tak ayal, jika beberapa puisinya ada yang berisi bait menggunakan bahasa Inggris. Tak hanya itu, ia juga menerjemahkan beberapa karya berbahasa asing ke dalam bahasa Indonesia.
2. Pencetus Slogan “Boeng Ajo Boeng!”
Pada zaman Indonesia sebelum merdeka, banyak seniman yang menjadikan seni sebagai alat propaganda untuk mencapai kemerdekaan. Seperti contohnya Chairil yang menulis puisi-puisi perjuangan yang menggambarkan perjuangan. Selain itu, slogan-slogan juga diciptakan, seperti contohnya “Merdeka atau mati!” yang diutarakan oleh Sukarno.
Affandi juga pernah ditugaskan untuk membuat poster propaganda, kemudian ia menggambar seorang pemuda yang melepas rantai sembari memegang bendera merah putih. Tapi, pelukis legendaris ini sempat bingung slogan apa yang cocok untuk disematkan pada gambarnya itu.
Dengan spontan, Chairil mencetuskan kalimat “Boeng Ajo Boeng!” ejaan lama dari “Bung Ayo Bung!”. Menurut sejarawan JJ Rizal, slogan tersebut terinspirasi dari ucapan pelacur yang biasa menawarkan dirinya di Pasar Senen.
3. Penggebrak Puisi Modern
Meskipun pada akhirnya diterbitkan, dulu puisi-puisi karya Chairil Anwar sempat ditolak oleh beberapa penerbit. Hal itu dikarenakan puisi-puisinya dianggap menyimpang dari standar puisi pada era 40-an. Karya-karyanya dianggap terlalu individualistis dan terlalu kebarat-baratan.
Namun, dalam buku Chairil Anwar: Pelopor Angkatan 45 (1956), Jassin mengungkapkan bahawa puisi-puisi karya temannya itu merupakan pelopor puisi modern di Indonesia. Tak hanya Chairil, Jassin juga menobatkan Asrul Sani dan Rivai Apin sebagai Pelopor Puisi Modern angkatan 45.
4. Dikenal Sebagai Pemuda Nakal
Si Binatang Jalang merupakan sebutan untuk Chairil yang diambil dari puisinya yang berjudul Aku. Terlepas dari alasan itu, penyair asal medan ini memang dianggap “jalang” alias nakal oleh orang-orang di sekitarnya.
Gaya hidupnya cenderung suka seenaknya sendiri. Ia pernah menggadaikan barang-barang berharga temannya dan mengunjungi lokalisasi di kawasan Senen. Tak hanya itu saja, ia juga kerap merayu gadis penjaga toko buku agar dapat membaca buku setiap hari.
Pelajaran yang Bisa Diambil dari Biografi Chairil Anwar
Demikian artikel yang mengulik secara singkat biografi Chairil Anwar, mulai dari kehidupan pribadi, koleksi puisi, hingga fakta menariknya. Semoga dari biografi Chairil Anwar ini, Anda dapat memetik beberapa motivasi dan pelajaran berharga, salah satunya adalah berjiwa nasionalis.
Meskipun dulu tak ikut berperang melawan penjajah, ia tetap memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui tulisan-tulisannya. Misalnya saja puisi Siap Sedia yang dianggap Jepang sebagai puisi pemberontakan, sehingga ia harus dihajar habis-habisan oleh para penjajah.
Mungkin Indonesia telah merdeka, di mana tak ada lagi penjajahan. Namun, alangkah lebih baik jika Anda tetap mencintai negara sendiri dengan melakukan hal-hal sederhana, salah satunya seperti tidak menyebarkan ujaran kebencian atau berita hoax. Semangat!