
Ketika membicarakan tentang pahlawan nasional yang memperjuangkan hak pendidikan perempuan di Indonesia, Anda mungkin langsung terbayang R.A. Kartini. Padahal, ada pahlawan perempuan Indonesia dari Minahasa yang jasa dan kiprahnya dalam memperjuangkan pendidikan wanita yang tidak kalah dari Kartini, yaitu Maria Walanda Maramis. Ingin mengenal lebih dalam tentang pahlawan perempuan yang dianggap sebagai Kartini dari Minahasa ini? Simak ulasan yang sudah kami siapkan di sini untuk mendapatkan informasi dan biografi Maria Walanda Maramis.
- Nama
- Maria Josephine Catherine Maramis
- Tempat, Tanggal Lahir
- Desa Kema, 1 Desember 1872
- Meninggal
- 22 April 1924
- Warga Negara
- Indonesia
- Pasangan
- Joseph Frederick Caselung Walanda (m. 1890–1924)
- Anak
- Wilhelmina Grederika, Paul Alexander, Anna Palona Matuli, Albertine Pauline
- Orang Tua
- Bernardus Maramis (Ayah), Sarah Rotinsulu (Ibu)
Pada tanggal 1 Desember 2018, Google Doodle menampilkan wajah seorang wanita Indonesia yang terlihat sedikit asing. Beberapa orang mungkin berusaha mencari tahu siapa sosok perempuan tersebut, bisa jadi Anda salah satunya. Setelah mengetahui kalau nama perempuan itu adalah Maria Walanda Maramis, Anda barangkali ingin mengetahui biografi dan informasi menarik tentangnya.
Meskipun sosok Maria Walanda Maramis tidak banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia, tapi perannya sangat penting dalam sejarah, khususnya untuk masyarakat Minahasa. Berkat usahanya memajukan keadaan wanita di Indonesia, khususnya Minahasa, Maria sampai diberi titel pahlawan nasional Indonesia.
Kebanyakan pahlawan emansipasi biasanya terlahir dari keluarga bangsawan, seperti halnya R.A. Kartini, Dewi Sartika, atau Cut Nyak Dien. Namun, Maria Walanda Maramis lahir dari keluarga yang cukup sederhana. Meskipun begitu, kekurangannya tidak menghentikan cita-citanya untuk meraih pendidikan setinggi mungkin.
Ingin mengenal lebih jauh tentang sosok Kartini dari Minahasa ini? Simak biografi Maria Walanda Maramis yang sudah kami siapkan di bawah ini. Selamat membaca!
Kehidupan Pribadi Maria Walanda Maramis
Ketika membahas biografi Maria Walanda Maramis, tak akan lengkap jika belum membicarakan kehidupan pribadinya, mulai dari masa mudanya, keluarga kecil yang dibangunnya, hingga akhir hayatnya. Tanpa menunggu waktu lama, langsung simak ulasan singkatnya berikut ini.
1. Masa Muda
Terlahir dengan nama lengkap Maria Josephine Catherine Maramis, pejuang emansipasi perempuan Sulawesi Utara ini lahir di Desa Kema, Minahasa Utara pada tanggal 1 Desember 1872. Ia merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua kakaknya bernama Aantje dan Andries Alexander Maramis. Ayahnya adalah seorang pedagang bernama Bernardus Maramis dan ibunya bernama Sarah Rotinsulu.
Pada usia 6 tahun, Maria menjadi yatim piatu setelah kedua orang tuanya meninggal dunia akibat terjangkit penyakit kolera yang saat itu tengah melanda daerah Minahasa. Ia pun kemudian diasuh oleh pamannya, Ezam Rotinsulu, yang tinggal di Maumbi, Minahasa Utara.
Sejak kecil, Maria memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi. Ia sangat suka membaca segala hal yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Sayangnya, ia hanya menempuh studi sampai tingkat Sekolah Dasar karena pada saat itu, anak-anak perempuan tidak diizinkan bersekolah setelah lulus Sekolah Dasar.
Maria dan Aantje terpaksa tidak melanjutkan sekolahnya, sementara Andries melanjutkan ke Hoofden School di Tondano. Perbedaan kesempatan bersekolah untuk anak laki-laki dan perempuan itu membuatnya bertanya-tanya. Ia sampai merasa kalau paman dan bibinya sudah berlaku tidak adil padanya.
Untungnya, sang paman, Ezam adalah seorang pria yang cukup terpandang. Ia memiliki banyak kenalan dari kalangan orang terpelajar dan orang-orang Belanda. Maria pun tak ingin melewatkan kesempatan itu.
Salah satu kenalan pamannya itu adalah seorang pendeta Belanda yang bernama Jan Ten Hoeven. Pendeta tersebut memiliki pandangan luas di bidang pendidikan dan hal tersebut semakin mempengaruhi cara pandang Maria. Ia pun semakin bercita-cita untuk memajukan perempuan Minahasa.
Baca juga: Biografi Albert Einstein, Sang Penemu Teori Relativitas
2. Berkeluarga
Salah satu hal penting yang perlu Anda ketahui dari biografi Maria Walanda Maramis adalah mengenai suami dan anak-anaknya. Karena dengan dukungan dari keluarganya itu, Maria dapat mewujudkan cita-citanya dengan baik.
Pada tahun 1890, Maria Walanda Maramis menikah dengan Joseph Frederick Caselung Walanda. Pria yang berasal dari Desa Tenggiri itu adalah seorang guru bahasa di HIS Manado. Melalui suaminya, Maria pun mempelajari tentang bahasa dan banyak pengetahuan lain.
Seusai menikah, Maria ikut suaminya pindah ke Manado. Dari pernikahannya itu, mereka berdua dianugerahi tiga anak perempuan, yaitu Wilhelmina Frederika, Anna Pawlona Matuli, dan Albertine Pauline. Sebenarnya, Maria dan Joseph juga dianugerahi seorang anak laki-laki bernama Paul Alexander, tapi putranya itu meninggal dunia ketika masih kecil.
Memiliki tiga anak perempuan seolah menjadi takdir dan ujian dari Tuhan apakah Maria mampu mendidik perempuan atau tidak, dimulai dari keluarganya terlebih dahulu. Rupanya, Maria tetap mengupayakan agar ketiga anak perempuannya dapat memperoleh kesempatan menempuh pendidikan tinggi.
Awalnya, ketiga putrinya disekolahkan di Chistelijke Meisjesschool, yaitu sekolah Kristen untuk anak-anak perempuan di Tomohon. Setelah satu tahun bersekolah di sana, Anna dan Albertine diusahakan untuk dapat masuk ke Europe Lagere School (ELS), sebuah sekolah Belanda di Manado.
Sebenarnya, tak mudah bagi keturunan orang biasa seperti Maria Walanda Maramis dan suaminya untuk dapat memasukkan anaknya ke sekolah tersebut. Namun, karena tekadnya yang tinggi, Maria berulang kali mengirimkan permohonan ke pemerintah Minahasa agar dapat mengizinkan putri-putrinya bersekolah di sana.
Sayangnya, hanya dua putrinya yang melanjutkan studinya, yaitu Anna dan Albertine. Alasannya adalah karena saat itu Wilhelmina Frederika menderita sakit parah sehingga akhirnya ia hanya tinggal di rumah.
Setelah Anna dan Albertine berhasil pada ujian kemahiran bahasa Belanda, barulah keduanya diizinkan bersekolah di Lagere School. Setelah kedua putrinya menyelesaikan studi di Lagere School dan lolos Kleinambtenaar Examen (ujian untuk calon pegawai rendah), Maria berniat untuk mengirimkan anak-anaknya ke Pulau Jawa. Sayangnya, Joseph tidak menyetujui rencana tersebut.
Dengan dorongan dari Kepala Sekolah, akhirnya Joseph Walanda pun mengizinkan putri-putrinya ke Pulau Jawa. Izin tersebut diberikan dengan syarat kedua putrinya harus kembali ke Manado dengan membawa ijazah Europese Lager Onderwijs (Pendidikan Guru Rendah Belanda) dalam waktu tiga tahun. Benar saja, tiga tahun kemudian, janji tersebut pun ditepati.
3. Meninggal Dunia
Di tengah-tengah usahanya dalam memperjuangkan hak wanita untuk meraih pendidikan setinggi mungkin, kesehatan Maria Walanda Maramis mulai menurun. Beberapa kegiatan yang ia perjuangkan pun mulai terganggu.
Maria juga mulai jarang mendatangi rapat-rapat yang diadakan oleh petugas di organisasi yang dibuatnya, PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya). Meskipun begitu, ia tetap rajin mengirimkan surat ke cabang-cabang PIKAT untuk memberikan petunjuk dan nasihat.
Pada tahun 1900-an, terdapat sebuah sayembara berhadiah dana beasiswa sekolah yang diadakan oleh pemerintah. Maria pun sempat mengajukan permohonan pada pemerintah agar PIKAT dapat mengikuti undian tersebut demi kemajuan sekolahnya. Surat permohonannya dibuat selama ia dirawat di rumah sakit kemudian diserahkan kepada kepala sekolah PIKAT, Nona H. Sumolang dengan pesan, “Jangan lupakan PIKAT, anakku yang bungsu.”
Rupanya, kalimat tersebut adalah pesan terakhir Maria sebelum ia meninggal dunia pada tanggal 22 April 1924 dalam usia 52 tahun. Jenazahnya dibaringkan di Sekolah PIKAT untuk penghormatan terakhir dari para utusan cabang, anggota-anggota PIKAT, dan masyarakat sekitar yang selalu mencintai Maria. Sesudahnya, jenazah Maria Walanda Maramis dimakamkan di Maumbi, sembilan kilometer dari Manado.
Baca juga: Inilah Biografi Chairil Anwar, Penyair yang Mendapat Julukan Si Binatang Jalang
Kelahiran PIKAT dan Sekolah Keterampilan Perempuan
Perjuangan Maria Walanda Maramis dalam mengusahakan pendidikan untuk perempuan termasuk salah satu informasi yang perlu disebutkan di biografi pahlawan dari Minahasa yang satu ini. Karena tanpa tekad kuatnya itu, Kartini dari Minahasa ini tak akan disebutkan dalam sejarah.
Pada awal tahun 1900-an, kesadaran masyarakat Minahasa untuk memajukan kaum pribumi mulai bermunculan. Berbagai macam organisasi kemasyarakatan pun mulai lahir.
Menyadari hal tersebut, Maria Walanda Maramis pun tak ingin tinggal diam. Dengan mengumpulkan beberapa temannya dan kedua putrinya yang baru saja kembali dari Jawa, ia berniat untuk mendirikan organisasi yang bertujuan untuk memajukan pendidikan wanita.
Pada tanggal 8 Juli 1917, rapat terbuka diadakan untuk meresmikan organisasi bernama Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya, yang disingkat menjadi PIKAT. Organisasi tersebut mendapatkan sambutan positif dari masyarakat Minahasa.
Tak hanya mendirikan PIKAT di Minahasa, Maria Walanda Maramis berniat untuk mendorong para wanita dari daerah lain untuk meraih pendidikan lebih tinggi. Oleh karena itu, ia mengirimkan surat kepada wanita-wanita terkemuka di Sangitalaud, Gorontalo, Poso, dan kota-kota lain di Minahasa. Surat tersebut berisi usulan untuk mendirikan PIKAT di kota-kota tersebut disertai nilai-nilai yang ingin ia tanamkan.
Para wanita tersebut pun menyetujui usulan Maria dan mulai mendirikan cabang PIKAT di beberapa tempat di Minahasa. Bahkan, cabang tersebut kemudian melebar hingga ke Ujungpandang, Jakarta, Bogor, Malang, Surabaya, Bandung, Cimahi, Magelang, Balikpapan, Sangu-sangu, dan Kotaraja.
Organisasi PIKAT tersebut berkembang dengan cukup pesat. Salah satu buktinya adalah didirikannya sekolah rumah tangga di Manado dengan nama Huishoud School pada tanggal 2 Juli 1918. Sekolah tersebut nantinya menjadi cikal bakal berdirinya sekolah kejuruan di Minahasa.
Sekolah tersebut menampung para gadis yang sudah menamatkan pelajaran di Sekolah Dasar dan berniat untuk melanjutkan studinya lebih lanjut. Di sekolah tersebut, para wanita diberikan pelajaran dan bimbingan dalam segala hal berkaitan dengan rumah tangga, contohnya adalah memasak, menjahit, membuat kue, membersihkan rumah, menghias rumah dan pekarangan, menanam bunga, merawat bayi, hingga memberikan pertolongan pertama pada kecelakaan.
Baca juga:
Perjuangan untuk Hak Memilih bagi Wanita
Pada tahun 1919, Maria membuat sebuah terobosan dalam dunia politik di Minahasa. Saat itu, terdapat sebuah badan perwakilan rakyat daerah yang bernama Minahasa Raad.
Awalnya, badan parlemen rakyat tersebut hanya diisi oleh laki-laki saja. Hak memilih perwakilan rakyat pun hanya diberikan pada kaum laki-laki. Dengan pantang menyerah, Maria memperjuangkan agar wanita memiliki hak suara dalam pemilihan wakil rakyat dan pemilihan anggota dewan.
Usaha tersebut pun membuahkan hasil ketika pada tahun 1921, keluarlah surat keputusan dari Batavia terkait hak politik wanita. Sejak saat itu, wanita diberikan hak untuk memberikan suaranya dalam pemilihan anggota Minahasa Raad. Tidak berhenti sampai di situ saja, perjuangan Maria juga membuat wanita dapat dipilih menjadi anggota badan perwakilan rakyat lainnya, yaitu Locale Raad dan Gemeentse Raad.
Baca juga: Biografi Ahmad Yani, Pahlawan Revolusi yang Cemerlang di Bidang Militer Sejak Muda
Pengakuan sebagai Pahlawan Nasional
Saat membahas biografi Maria Walanda Maramis ini rasanya kurang lengkap jika tidak menyebutkan tentang pengakuan sebagai pahlawan nasional dari pemerintah Indonesia. Kira-kira apa saja bentuk pengakuannya?
Pada tanggal 20 Mei 1969, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan Presiden RI No.12/K/1969 untuk menganugerahi gelar Pahlawan Pergerakan Nasional pada Maria Walanda Maramis. Dalam surat yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto, Maria bersama Arie F. Lasut dan Christina Martha Tiahahu dianugerahi dengan gelar pahlawan nasional.
Untuk mengenang jasa-jasa Maria, masyarakat Minahasa memperingati Hari Ibu Maria Walanda Maramis setiap tanggal 1 Desember, bertepatan dengan tanggal ulang tahunnya. Tak hanya itu, pemerintah Minahasa pun membuatkan patung Maria Walanda Maramis di Kelurahan Komo Luar, Kecamatan Wenang, tak jauh dari pusat Kota Manado. Pembangunan monumen tersebut dimulai pada tanggal 8 Maret 1987 saat kepemimpinan Gubernur Rantung.
Bentuk pengakuan lainnya untuk Maria Walanda Maramis sebagai pahlawan nasional adalah dibuatnya Google Doodles, atau modifikasi logo Google untuk peringatan atau event tertentu. Google Doodles dengan gambar pahlawan wanita dari Minahasa itu ditampilkan pada 1 Desember 2018.
Memahami Semangat Juang Pahlawan Wanita melalui Biografi Maria Walanda Maramis
Setelah membaca biografi Maria Walanda Maramis di artikel ini, adakah pesan yang Anda dapatkan? Apakah Anda dapat merasakan semangat Maria dalam memperjuangkan pendidikan untuk perempuan?
Karena seperti halnya semboyan dari Presiden pertama Indonesia, Soekarno, “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!” Karena dengan mempelajari sejarah perjuangan di masa lampau, nantinya Anda dapat lebih memahami apa yang membentuk Indonesia saat ini dan menambah rasa cinta Anda pada Indonesia.
Salah satu wujud dari rasa cinta pada Indonesia adalah dengan mempertahankan bahasa daerah dan mengenakan pakaian daerah dengan bangga. Seperti salah satu quotes terkenal dari Maria Walanda Maramis, “Pertahankanlah bangsamu, pergunakanlah bahasa daerahmu dan pakailah pakaian daerahmu.”