
Biografi Seno Gumira Ajidarma mestinya sudah familier di telinga Anda yang mencintai dunia sastra. Pasalnya, sastrawan Indonesia yang satu ini telah banyak menelurkan karya, baik puisi, cerpen, maupun novel. Ia juga meraih banyak prestasi di dalam dan luar negeri, sampai pernah menolak sebuah penghargaan. Bagaimana kisahnya? Simak informasi mengenai perjalanan hidup dan kariernya di bawah ini!
- Nama Lengkap
- Seno Gumira Ajidarma
- Tempat, Tanggal Lahir
- Boston, 19 Juni 1958
- Pekerjaan
- Wartawan, Penulis, Fotografer, Kritikus Film Indonesia
- Pasangan
- Ikke Susilowati
- Anak
- Timur Angin
- Orang Tua
- Prof. Dr. M.S.A. Sastroamidjojo (Ayah), dr. Poestika Kusuma Sujana (Ibu)
Anda mungkin sudah tidak asing lagi dengan nama dan biografi singkat sastrawan Seno Gumira Ajidarma. Di dunia sastra, ia telah banyak melahirkan karya, mulai dari cerpen, puisi, novel, hingga esai. Seno juga tercatat banyak menerima penghargaan dari karya-karyanya itu.
Proses kreatifnya dimulai sejak masih berusia 17 tahun, di mana ia menjadi anggota kelompok Teater Alam. Dari situ, ia kemudian masuk ke dunia sastra dan menelurkan karya pertamanya berupa puisi yang dimuat di majalah Aktuil.
Setelahnya, secara berturut-turut karya cerpen dan esai pertamanya pun dimuat di media cetak. Cerpennya bertajuk Sketsa dalam Satu Hati dimuat surat kabar Berita Nasional (1976), sedangkan esainya dimuat harian Kedaulatan Rakyat di tahun yang sama.
Selain dikenal sebagai penulis, Seno Gumira Ajidarma juga menekuni profesi wartawan sejak 1977. Senada dengan prestasinya di bidang sastra, kariernya di dunia jurnalistik pun melejit, dan ia sempat menjadi pemimpin redaksi sebuah majalah.
Kendati demikian, kesuksesannya tak membuat pria kelahiran 19 Juni 1958 ini melupakan pendidikan formal. Begitu menyelesaikan kuliah S1 di Fakultas Film & Televisi Institut Kesenian Jakarta (IKJ), ia melanjutkan pendidikan magister dan doktoral. Gelar Magister Ilmu Filsafat (2000) dan Doktor Ilmu Sastra (2005) pun berhasil diraihnya dari Universitas Indonesia (UI).
Hingga 2019, ia masih rajin berkarya, baik menulis cerpen, esai, bahkan skenario film. Salah satu film yang mencatat namanya sebagai anggota tim penulis skenario adalah Wiro Sableng 212 (2018) yang dibintangi Vino G. Bastian.
Perjalanan karier Seno Gumira Ajidarma kedengarannya amat menarik, bukan? Kalau Anda penasaran ingin mengetahui informasinya lebih lanjut, simak biografi singkat Seno Gumira Ajidarma yang PosBagus paparkan di bawah ini! Selamat membaca.
Kehidupan Pribadi
Kehidupan pribadi Seno Gumira Ajidarma tentu tak boleh dilewatkan jika kita membahas mengenai biografi dirinya. Sosok sastrawan yang satu ini merupakan putra dari pasangan Prof. Dr. M.S.A. Sastroamidjojo dan dr. Poestika Kusuma Sujana. Ia lahir di Boston, Amerika Serikat pada 19 Juni 1958.
Walau lahir di Amerika, pria yang mempunyai nama samaran Mira Sato ini tumbuh dan besar di Yogyakarta, Indonesia. Ia mengenyam pendidikan dasar hingga menengah di Yogyakarta, lalu berkuliah di Jurusan Sinematografi, Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ berubah nama menjadi IKJ sejak 1981) tahun 1977.
Dari keterangan singkat itu, Anda barangkali mengira pendidikan Seno berjalan mulus. Kenyataannya, ia pernah menolak untuk melanjutkan sekolah saat lulus SMP dan memilih untuk mengembara. Berikut kisah lengkapnya!
Baca juga: Biografi KH Agus Salim, Diplomat Religius yang Menguasai Sembilan Bahasa
1. Masa Kecil Penuh Petualangan
Lahir dari ayah seorang guru besar dan punya ibuk dokter tampaknya tidak membuat Seno lantas mengikuti jejak kedua orang tuanya. Alih-alih senang belajar ilmu-ilmu eksak, ia malah lebih menyukai segala sesuatu yang berhubungan dengan petualangan.
Saking sukanya, penulis cerita Saksi Mata (1994) ini sampai enggan melanjutkan SMA. Ia malah pergi dari rumah untuk mengembara hingga ke Sumatera karena terpengaruh cerita petualangan suku Apache yang terungkap dalam kisah tentang sosok bernama Old Shatterhand karya Karl May.
Konon, selama tiga bulan Seno menjelajah ke Jawa Barat hingga Sumatera. Bahkan, ia sempat menjadi buruh pabrik kerupuk di Medan karena kehabisan uang. Pada akhirnya, ia menyerah dan meminta sang ibu mengirimkan uang padanya.
Namun, kala itu sang ibu justru mengirimkan tiket pulang padanya. Oleh karena itu, mau tak mau Seno pun pulang ke Yogyakarta untuk melanjutkan sekolah. Ia masuk sekolah swasta, yaitu SMA Kolese De Britto yang membolehkan siswanya tidak mengenakan seragam.
Baca juga: Biografi Mahatma Gandhi, Sang Empunya Jiwa Agung yang Cinta Damai
2. Menjadi ‘Pemberontak’ Saat Remaja
Jiwa petualang Seno Gumira Ajidarma seolah semakin menggebu saat memasuki usia remaja. Bahkan, alih-alih bergaul dengan teman-teman sekitar tempat tinggalnya di perumahan dosen kawasan Bulaksumur UGM (Universitas Gadjah Mada), ia lebih memilih nongkrong dengan anak-anak jalanan.
Lingkaran pergaulan itu pun membuat Seno kerap tawuran dan kebut-kebutan di jalan. Menurutnya, kala itu ia hanyalah remaja yang masih mencari jati diri. Pencariannya akan identitas diri baru berakhir setelah ia mengenal WS Rendra.
“Saat remaja, orang akan mencari identitas, ada yang berkelahi, ngebut, menjadi modis, dan lain-lain sebagainya. Pencarian identitas saya berhenti ketika saya menonton Rendra. Seketika itu, entah kenapa saya langsung saya ingin jadi seperti beliau,” demikian pengakuan Seno di sebuah wawancara bersama White Board Journal pada tahun 2016.
Menginjak dewasa, ia bisa dikatakan berubah 180 derajat. Tak hanya menekuni pekerjaan sebagai wartawan dan aktif menulis karya sastra, Seno juga memutuskan untuk segera mengakhiri masa lajangnya. Pada 1981 saat berumur 23 tahun, ia menikahi wanita bernama Ikke Susilowati, kemudian dikaruniai seorang anak yang diberi nama Timur Angin.
Perjalanan Karier
1. Memulai Karier Usai Kenal Teater
Dalam biografi dirinya, Seno Gumira Ajidarma memang bisa dibilang sudah berkenalan dengan dunia sastra sejak umurnya masih 5 atau 6 tahun. Akan tetapi, ia baru benar-benar memulai proses kreatif dan menekuni sastra semenjak berusia 17 tahun.
Kala itu Seno terlebih dulu memulai kariernya dengan bergabung di sebuah kelompok sandiwara bernama Teater Alam. Di kelompok yang dipimpin Azwar A.N. itu, ia bersinggungan dengan seni teater selama kurang lebih 2 tahun.
Di sela kesibukannya jadi pemain teater, Seno aktif pula mengirimkan karya-karya puisi dan cerpennya ke media cetak. Rupanya, ia terinspirasi dari Remy Silado dan Rendra yang karya-karyanya telah membuat Seno terpukau. Begitu menginjak dewasa, tak heran jika ia membulatkan tekad untuk menjadi seorang sastrawan.
“Waktu itu tahun 1973, saya masih SMP dan melihat di koran kalau Rendra dilarang tampil. Lalu diizinkan tampil lagi, tapi hanya di tempat-tempat tertentu. Banyak yang melarang, tapi ia tetap tampil di Stadion Kridosono, Yogyakarta,” terang Seno dilansir White Board Journal (2016).
“Lalu saya berpikir, drama kok dilarang?” Imbuhnya. “Waktu itu, teater asing buat saya. Dan drama, saat itu, kita tahu hanya hadir saat perayaan 17-an saja. Salah satu drama Rendra yang saya tonton adalah Mastodon dan Burung Kondor, karena judulnya yang unik. Sejak itu, nama Rendra itu semakin sering terdengar oleh saya dan publik.”
Baca juga: Biografi Tung Desem Waringin, Sang Motivator Handal Peternak Uang
2. Karier sebagai Wartawan
Selagi aktif menulis, biografi dirinya juga menunjukkan kalau Seno Gumira Ajidarma terjun ke dunia jurnalistik pada 1977 sebagai freelancer di harian Merdeka. Tahun 1980, ia bekerja di majalah kampus Cikini dan sempat menduduki posisi pemimpin redaksi di Sinema Indonesia.
Kemudian, ia menjadi redaktur di majalah mingguan bernama Zaman yang aktif pada 1983–1984. Pria dengan ciri khas rambut gondrong ini juga sempat bekerja di majalah Jakarta Jakarta (1985–1992).
Tak melulu sibuk, Seno sempat menganggur beberapa lama sewaktu majalah Jakarta Jakarta berhenti terbit di tahun 1992. Untuk mengisi waktu luangnya, ia memutuskan kembali berkuliah dan melanjutkan studi di LPKJ yang sudah berganti nama jadi IKJ saat dirinya masuk.
Di sela kuliah, ia masih aktif jadi wartawan dan sempat diperbantukan di tabloid Citra. Akan tetapi, di akhir 1993, ayah satu anak ini kembali bekerja di majalah Jakarta Jakarta dan banyak menulis kritik film.
Statusnya sebagai wartawan tetap dipertahankan walau orang-orang mengenalnya sebagai sastrawan. Alasannya sederhana, karena sebutan wartawan dianggap lebih praktis dan sudah mewakili semuanya. “Wartawan bisa menulis, kan? Jadi wartawan itu seolah-olah bisa mewakili semuanya,” ucap Seno ketika diwawancara BBC tahun 2012 silam.
Baca juga: Biografi Martha Christina Tiahahu, Pejuang Wanita yang Tak Takut Angkat Senjata
3. Sibuk Jadi Akademisi hingga Juri Ajang Kompetisi
Punya titel Doktor Ilmu Sastra, sayang jika disia-siakan begitu saja. Oleh karenanya, Seno Gumira Ajidarma mengamalkan ilmu dan membagikan pengalaman yang didapat dengan menjadi dosen di IKJ. Ia juga menjabat sebagai rektor di sana sejak tahun 2016.
Bukan hanya aktif mengajar, alumni UI ini pun kerap diminta untuk menjadi juri di kompetisi-kompetisi menulis. Misalnya pada 2008, ia bersama sastrawan Linda Christanty dan kritikus Kris Budiman dipercaya jadi juri Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Hingga tahun 2010, Seno Gumira juga masih menjabat juri ajang Festival Film Indonesia (FFI). Akan tetapi, di tahun yang sama namanya dan sejumlah juri lain dikeluarkan dari jajaran tim juri lantaran terdapat perdebatan dalam pemilihan film Sang Pencerah (2010) sebagai salah satu nominee.
Karya-Karya Seno Gumira Ajidarma
Setelah membahas karier jurnalistiknya, karya-karya Seno Gumira Ajidarma juga penting untuk dibahas di artikel biografi ini. Salah satunya tentang fakta bahwa tulisan-tulisan Seno tak melulu bernuansa politik.
Barangkali, ia memang banyak mengkritisi persoalan politik dan kemanusiaan melalui karyanya. Meski begitu, tak sedikit pula karyanya yang berbicara soal cinta dan kehidupan. Berdasarkan yang PosBagus kutip dari wawancara Seno bersama BBC (2012), terungkap bahwa beberapa genre karyanya beraliran realis dan realisme magis atau fantastik.
Walau demikian, apa pun genrenya, sang penulis mengaku dirinya berkarya sesuai kebutuhan. Sederhananya, ia akan menulis dengan bahasa-bahasa yang mudah dimengerti ketika tulisannya ditujukan untuk kepentingan orang banyak.
“Itu tergantung kebutuhan. Kalau kebutuhannya adalah ide-ide saya pribadi, ya saya tidak peduli dimengerti atau tidak,” tuturnya. “Tapi kalau urusannya persoalan orang banyak, demi kepentingan orang banyak, maka saya tentu menggunakan bahasa yang sebisa mungkin pasti dimengerti.”
Nah, apa saja karya-karyanya? Agar lebih jelas, langsung saja Anda simak uraian mengenai tulisan-tulisan Seno, mulai dari fiksi berupa cerpen, puisi, novel, dan naskah drama/teater, hingga nonfiksi berupa esai.
Baca juga: Biografi Sutan Syahrir, Sang Perdana Menteri Pertama di Indonesia
1. Karya Fiksi
a. Antologi Puisi dan Cerpen
Seno rajin menulis puisi di media cetak sejak tahun 1970-an. Ratusan karya puisinya yang sudah diterbitkan pun terangkum dalam buku-buku antologi, antara lain Mati Mati Mati (1975); Bayi Mati (1978); serta Catatan-Catatan Mira Sato (1978).
Beberapa cerita pendek karyanya pun banyak dirangkum dalam antologi, di antaranya ialah Manusia Kamar (1988) yang dicetak ulang dengan judul Matinya Seorang Penari Telanjang (2000); Saksi Mata (1994); Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995); hingga yang bisa dibilang sebagai karya paling fenomenal ialah Sepotong Senja untuk Pacarku (2002).
Dari sekian yang sudah Anda baca di atas, beberapa karya Seno tercatat pula telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Misalnya saja cerpen Saksi Mata yang diterjemahkan oleh Jan Lingard dalam judul Eye Witness; dan Negeri Kabut yang diterjemahkan Tim Kortschak dengan judul The Land of Mists.
Kedua cerpen tersebut beserta terjemahan bahasa Inggris-nya diterbitkan pula dalam buku biografi Sastrawan Indonesia: Seno Gumira Ajidarma, Penerima Hadiah Sastra Asia Tenggara (1997). Tahun 1998, salah satu cerpennya yang berjudul Penari difilmkan setelah sebelumnya diubah menjadi naskah skenario pada 1979.
b. Novel dan Komik
Bukan cuma puisi dan cerpen, novel dan sejumlah komik juga tercipta dari tangan dingin seorang Seno Gumira Ajidarma. Novel-novelnya yang terkenal antara lain Jazz, Parfum, dan Insiden (1996); Kitab Omong Kosong (1994); Biola Tak Berdawai (2004); Kalatidha (2007); Wisanggeni Sang Buronan (2000); dan Nagabumi I: Jurus Tanpa Bentuk (2009).
Pada 2011, jilid kedua novel Nagabumi diluncurkan dengan judul Nagabumi II: Buddha, Pedang dan Penyamun Terbang. Cerita silat yang mengisahkan kehidupan Pendekar Tanpa Nama itu berlanjut pula di seri ketiga, Nagabumi III: Hidup dan Mati di Chang’an (2019) dengan tebal 1.136 halaman.
Tak puas sampai di situ, sastrawan multitalenta ini juga pernah merilis sejumlah komik di awal 2000-an. Sebut saja komik Jakarta 2039, 40 Tahun 9 Bulan setelah 13—14 Mei 1998 (2001); Taxi Blues (2001); dan Sukab Intel Melayu: Misteri Harta Centini (2002).
Baca juga: Biografi Moh Yamin, Tokoh Penting di Balik Lahirnya Sumpah Pemuda dan Pancasila
2. Tulisan Lain
Di artikel biografi ini, kami menginformasikan pula mengenai tulisan Seno Gumira Ajidarma lainnya. Misalnya saja beberapa esai, seperti Surat dari Palmerah (2002); Kisah Mata Fotografi Antara Dua Subjek: Perbincangan Tentang Ada (2002); Affair Obrolan Tentang Jakarta (2004); Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (2005); dan Sembilan Wali dan Siti Jenar (2007).
Selain esai, pria yang menolak dijuluki sebagai sastrawan ini juga menulis sejumlah naskah drama. Salah satunya ialah Mengapa Kau Culik Anak Kami (2001) yang dipentaskan di dua lokasi, yakni di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta (6–8 Agustus 2001) dan Taman Budaya Yogyakarta (16–18 Agustus 2001).
Naskah lain yang pernah ia tulis yaitu Pertunjukan Segera Dimulai (1976) dan Clara (1999). Drama Clara diadaptasi dari cerpen berjudul sama yang dimuat dalam antologi berjudul Iblis Tak Pernah Mati dan terbit pertama kali pada 1999.
Lebih lanjut, penulis buku Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (1996) itu pernah pula terlibat sebagai penulis skenario film yang diadaptasi dari novel, yaitu Wiro Sableng 212 (2018). Tidak sendiri, ia juga dibantu oleh Tumpal Tampubolon dan Sheila Timothy.
Prestasi dan Penghargaan
Bertahun-tahun malang melintang di dunia literasi membuat biografi Seno Gumira Ajidarma dipenuhi dengan catatan akan prestasi. Ia tercatat sudah mengantongi beragam penghargaan bergengsi dari dalam maupun luar negeri untuk karya-karyanya. Penghargaan-penghargaan itu antara lain:
- Dinny O’Hearn Prize for Literary 1997, Australia, untuk cerpen Saksi Mata
- South East Asia Write Award 1997, Bangkok, Thailand, untuk cerpen Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi
- Penghargaan dari harian Kompas tahun 1990 dan 1993 untuk cerpen Midnight Express dan Pelajaran Mengarang
- Penghargaan dari majalah Zaman tahun 1980 untuk cerpen Dunia Gorda
- Kusala Sastra Khatulistiwa atau Khatulistiwa Literary Award 2005, Indonesia
- Penghargaan dari harian Suara Pembaruan 1991 untuk cerpen Segitiga Emas
- Penghargaan dari Radio Arif Rahman Hakim 1997 untuk cerpen Kejadian
- Cerpen Terbaik pilihan Kompas tahun 2007 dan Anugerah Pena Kencana 2008 untuk Cinta di Atas Perahu Cadik
- Jadi Author of the Day di London Book Fair 2019
Selain yang ada dalam daftar, Seno juga pernah mendapatkan penghargaan bidang kesusastraan dari Ahmad Bakrie Award 2012. Sayangnya, ia menolak untuk menerima penghargaan tersebut karena alasan pribadi.
“Adakalanya dunia politik menyentuh kita, sehingga saya atau kita harus bersikap. Saya tidak bisa terus-menerus di menara gading. Ada keputusan saya harus turun,” terangnya memberikan jawaban filosofis ketika diwawancara BBC (2012). “Ada titik tertentu tidak bisa menghindar lagi (dari politik), sehingga tulisan saja tidak cukup.”
Baca juga: Biografi Abdul Haris Nasution, Jenderal Angkatan Darat yang ‘Disingkirkan’ Soeharto
Pelajaran yang Bisa Dipetik dari Biografi Seno Gumira Ajidarma
Kiranya, Anda dapat mengambil hikmah dari perjalanan karier Seno Gumira Ajidarma yang PosBagus rangkum di artikel biografi ini. Salah satu yang bisa Anda teladani adalah ketekunan dan konsistensinya di dunia literasi Indonesia.
Ia terbilang konsisten dengan karya-karya yang serius mengkritisi situasi politik dan kondisi masyarakat di tanah air. Dan yang lebih penting, kesibukannya menulis tidak mengganggu kegiatannya mengajar.
Jika Anda ingin mencari inspirasi menulis dari sastrawan lainnya, ikuti terus artikel-artikel tokoh yang ada di PosBagus. Kami tidak hanya merangkum informasi seputar Seno Gumira Ajidarma, tetapi juga sastrawan kenamaan lain, mulai dari Rendra hingga Sapardi Djoko Damono.