
Kalau Anda seorang penggemar karya sastra, nama Sapardi Djoko Damono tentu tidak asing lagi. Salah satu karyanya yang paling fenomenal dan digemari lintas generasi adalah Hujan Bulan Juni (1994). Kalau Anda ingin mengenalnya lebih dalam lagi, lebih baik baca biografi lengkap Sapardi Djoko Damono berikut.
- Nama
- Sapardi Djoko Damono
- Tempat, Tanggal Lahir
- Solo, 20 Maret 1940
- Pekerjaan
- Sastrawan, Dosen, Penulis
- Pasangan
- Wardiningsih (m. 1965-2019)
- Anak
- Rasti Suryandani, Rizki Henriko
- Orang tua
- Sadyoko (Ayah), Sapariyah (Ibu)
“Aku mencintaimu. Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu.” Begitulah kiranya penggalan salah satu puisi gubahan Sapardi Djoko Damono yang diambil dari buku kumpulan puisinya, Hujan Bulan Juni (1994). Meskipun sederhana, tapi mempunyai makna yang begitu dalam, kan? Saking populernya, banyak orang kemudian penasaran dan mencari biografi Sapardi Djoko Damono, sosok yang melahirkan karya manis itu.
Seperti Tung Desem Waringin, pria yang lebih akrab disapa SDD ini berasal dari Solo, Jawa Tengah. Ia merupakan anak sulung dari pasangan Sadyoko dan Sapariyah yang lahir pada tanggal 20 Maret 1940.
Sebenarnya, dirinya terjun ke dunia tulis menulis tanpa sengaja. Ia memang menyukai dunia tulis menulis semenjak remaja. Baginya, W.S. Rendra dan T.S. Eliot-lah yang membukakan jalannya di dunia sastra. Awalnya, ia hanya iseng mengirimkan karya-karyanya di media. Karena sambutan yang diperolehnya begitu baik dan positif, ia menjadi semangat untuk menulis.
Sepanjang kariernya, Sapardi Djoko Damono telah berhasil menulis dan menerbitkan puluhan judul puisi. Selain itu, ia juga menulis beberapa cerpen yang juga diterbitkan. Tidak hanya itu saja, ia juga merilis beberapa novel yang dikembangkan dari puisi buatannya.
Karya-karyanya itu diterima baik oleh penikmat sastra dan membuatnya menerima berbagai penghargaan bergengsi. Bahkan, ada beberapa karyanya yang diterjemahkan ke bahasa asing, lho.
Bagaimana? Anda pastinya semakin penasaran dengan salah satu penyair maestro Indonesia ini, kan? Kalau begitu, langsung saja baca ulasan lengkap biografi Sapardi Djoko Damono di bawah ini!
Kehidupan Pribadi
Sebelum membahas lebih dalam mengenai sepak terjang Sapardi Djoko Damono di dunia sastra, tidak ada salahnya jika Anda menyimak terlebih dahulu mengenai kehidupan pribadinya. Mulai dari masa kecil, riwayat pendidikan, dan kariernya sebagai pendidik akan dibahas dalam biografi Sapardi Djoko Damono berikut ini.
1. Cerita Masa Kecil
Sapardi Djoko Damono lahir saat Indonesia masih dijajah oleh bangsa lain, maka dari itu kehidupannya waktu kecil pun jauh dari kata berkecukupan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Sapariyah, sang ibu bahkan harus menjual buku-buku untuk makan. Itu pun masih belum cukup karena ia hanya bisa makan bubur dua kali sehari saja.
Semasa pendudukan Jepang, Sapardi kecil hampir saja dipisahkan dari sang ibu. Pada waktu itu, tentara Jepang melakukan perekrutan prajurit besar-besaran. Tidak hanya laki-laki saja, tapi juga perempuan. Beruntungnya pada saat itu ibunya sedang mengandung adiknya sehingga tidak jadi direkrut.
Setelah Indonesia merdeka, perekonomian keluarga juga belum kunjung membaik. Terlebih lagi, pada waktu itu Belanda datang lagi ke Indonesia dan menangkapi gerilyawan yang menghancurkan rumah orang-orang yang pro Belanda. Meskipun tidak terlibat, tapi setiap laki-laki dewasa dicurigai oleh Belanda. Oleh sebab itu untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, sang ayah pergi ke luar kota untuk mengungsi.
Laki-laki yang kerap disapa eyang ini berasal dari keluarga yang memiliki darah seni. Kakek dari pihak ayahnya merupakan seorang abdi dalem Keraton Kasunanan Solo yang jago membuat dan memainkan wayang. Ia juga pernah diberi hadiah wayang dari sang kakek, maka tidak heran jika dirinya bisa sedikit memainkannya.
Sementara itu, nenek dari pihak sang ibu adalah seorang yang jago “nembang” atau menyanyikan puisi Jawa dengan menulis sendiri liriknya. Meskipun mempunyai darah seni, tetapi karena merasa tidak jago menyanyi, akhirnya ia mantap untuk mengembangkan kemampuan dalam menulis syair atau puisi.
Sekarang, Anda sudah tahu dari mana eyang mendapatkan kemampuan untuk melahirkan sajak-sajak yang indah, kan? Nah, inilah sedikit mengenai kisah mengenai kehidupan masa kecilnya yang bisa Anda baca di biografi Sapardi Djoko Damono ini.
Baca juga: Biografi Nyi Ageng Serang, Pahlawan Wanita dari Grobogan yang Merupakan Ahli Strategi Perang
2. Riwayat Pendidikan
Selanjutnya melalui biografi Sapardi Djoko Damono ini, Anda akan membaca mengenai riwayat pendidikannya. Mari, langsung saja dibaca!
SDD menempuh pendidikan pertamanya di Sekolah Rakyat Kesatrian yang biasanya dikhususkan untuk kalangan kraton. Seperti yang sudah Anda baca sebelumnya, kakeknya adalah seorang abdi dalem keraton sehingga ia bisa sekolah di sana. Sekolah ini memang hanya untuk laki-laki saja, sedangkan anak perempuan dipisah dan disekolahkan di Permadi Putri.
Di sekolah rakyat, pada umumnya murid-murid akan diajari menulis, berhitung, bahasa asing, dan pelajaran eksak lainnya, kan? Nah, kalau Sekolah Rakyat Kesatrian ini agak berbeda karena murid-murid diajarkan untuk bisa menari Jawa dan menabuh gamelan. Jadi, mereka tidak hanya dididik untuk menjadi pintar, tapi juga sekaligus melestarikan budaya Jawa.
Lulus dari Sekolah Rakyat Kesatrian, Sapardi Djoko Damono melanjutkan sekolahnya di SMP Negeri 2 Solo. Di sini, bakatnya menulis sudah terlihat. Ia pun sering mengirimkan cerpen ke media cetak. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan di SMA 2 Solo. Ia pun semakin mengembangkan kemampuannya dan membuat namanya dikenal luas oleh penikmat sastra.
Setelah lulus SMA pada tahun 1958, sulung dari dua bersaudara ini kemudian diterima dan menempuh pendidikan di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Di sini, ia masuk ke Fakultas Sastra dan Kesenian dan mengambil jurusan Bahasa Asing.
Dalam sebuah wawancara, ia mengaku salah satu penyair yang begitu menginspirasi dan membuka jalannya untuk semakin mencintai dunia sastra adalah penyair asal Inggris, T.S. Eliot. Saking cintanya, dulu ia bahkan membuat skripsi mengenai karya-karya idolanya itu. Sementara dari dalam negeri, penyair yang karya-karyanya ia sukai adalah W.S. Rendra.
Pada tahun 1964, ia resmi menyandang gelar sarjana dan menjadi seorang pengajar. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 1970-1971, dirinya memutuskan untuk memperdalam pengetahuannya tentang sastra di University of Hawaii, Amerika Serikat. Setelah itu, ia mengambil gelar Doktor di UI dan selesai pada tahun 1989.
Baca juga: Biografi Mahatma Gandhi, Sang Empunya Jiwa Agung yang Cinta Damai
3. Perjalanan Karier sebagai Pendidik
Sumber: ResearchGate
Pada ulasan biografi Sapardi Djoko Damono di atas, Anda sudah membaca mengenai riwayat pendidikannya. Selanjutnya di sini, Anda akan menyimak informasi mengenai kariernya di bidang akademis.
Sapardi muda mempunyai pikiran yang realistis bahwa jika hanya menekuni sastra saja tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Maka dari itu, saat ditawari untuk membuka jurusan Sastra Inggris di IKIP Malang cabang Madiun, ia menerima dengan senang hati. Pasalnya, menjadi pendidik juga merupakan salah satu cita-citanya.
Di universitas tersebut, Sapardi langsung diangkat menjadi dosen tetap. Pada waktu itu, umurnya baru menginjak 23 tahun saja. Di sana, ia menjadi tenaga pengajar selama kurang lebih 4 tahun. Setelah itu pada tahun 1968, ia diangkat menjadi dosen tetap Fakultas Sastra-Budaya Universitas Diponegoro, Semarang.
Sebagai seorang penyair, pengarang Ada Berita Apa Hari ini, Den Sastro? ini memang mempunyai jiwa yang bebas, maka dari itu berkutat di satu tempat saja membuatnya cepat bosan. Lima tahun kemudian, ia memutuskan untuk mengembangkan karier dan pindah ke ibukota.
Awal kedatangannya ke Jakarta adalah karena diminta untuk memimpin sebuah yayasan bahasa. Namun kemudian, Sapardi Djoko Damono mendapatkan tawaran sebagai dosen tetap Fakultas Sastra di Universitas Indonesia (UI) dan resmi bekerja di tempat tersebut mulai tahun 1974.
Sepertinya, eyang sudah menemukan tempat nyaman di sini sehingga kariernya sebagai dosen pun terus bersinar. Pada rentang tahun 1979-1996, ia diangkat menjadi pembantu dekan III kemudian naik lagi menjadi pembantu dekan I. Setelah itu, dirinya menjadi Dekan Fakultas Sastra UI pada tahun 1996-1999.
Ketika memasuki masa pensiun, tepatnya tahun 2005, ia diangkat menjadi Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UI. Setelah pensiun pun, Sapardi Djoko Damono tetap diminta untuk menjadi dosen tamu di beberapa universitas ternama seperti Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Universitas Padjajaran Bandung, dan juga Universitas Diponegoro.
Karier di Dunia Sastra
Nah, ini mungkin menjadi bagian yang paling Anda tunggu-tunggu saat mencari biografi Sapardi Djoko Damono, kan? Kalau begitu langsung simak saja perjalanan kariernya dari awal meniti karier hingga menancapkan namanya menjadi salah satu pujangga modern Indonesia ini.
1. Awal Mula
Minat SDD dalam dunia tulis menulis memang sudah ada sedari kecil. Namun, ia baru benar-benar serius menekuninya ketika duduk di bangku SMP.
Pada waktu itu, ia pernah mengirimkan ceritanya ke sebuah majalah bahasa Jawa, Panjebar Semangat. Sayangnya, karyanya itu ditolak oleh redaktur dengan alasan ceritanya tidak masuk akal. Padahal di sana, ia menceritakan kisah nyata tentang ibunya yang melepas dirinya dan sang adik untuk tinggal beberapa hari bersama ayah dan ibu tirinya.
Namun, hal itu tidak menyurutkan semangatnya untuk menulis. Pada saat kelas 2 SMA, ia mulai tekun untuk menulis puisi dan mengirimkannya ke media-media cetak. Karya pertamanya kemudian diterbitkan oleh sebuah media cetak di Semarang.
Setelah itu, penulis Namaku Sita ini mulai mengirimkan karya-karyanya yang lain di berbagai media cetak. Karya-karyanya yang diterbitkan itu mendapatkan sambutan yang hangat dari para penikmat sastra. Hal itu tentu saja membuatnya terpacu untuk semakin menulis lebih baik dan banyak lagi.
Bahkan, sebelum masuk kuliah, nama Sapardi Djoko Damono sudah dikenal di mana-mana. Ada pula sajak yang digubahnya waktu berusia 17 tahun kemudian dijadikan sajak wajib pada pertemuan Kesenian Nasional Indonesia. Tak cukup sekali saja, sajaknya bahkan digunakan sampai tiga kali. Hebat, ya?
Baca juga: Inilah Biografi Chairil Anwar, Penyair yang Mendapat Julukan Si Binatang Jalang
2. Namanya Tersohor dan Menerima Berbagai Penghargaan
Seperti yang sudah Anda baca di biografi Sapardi Djoko Damono di atas, namanya semakin dikenal karena karya-karyanya banyak diterbitkan di media cetak, seperti surat kabar dan majalah. Bahkan, ada juga yang diterbitkan dalam bentuk buku-buku sastra.
Pada tahun 1969, ia menerbitkan sebuah buku kumpulan puisi yang diberinya judul Duka Mu Abadi. Beberapa tahun kemudian, ia kembali merilis kumpulan puisinya, yaitu Mata Pisau (1974). Karya-karyanya itu mendapatkan apresiasi dari para penikmat sastra, tidak hanya dari dalam negeri tapi juga luar negeri. Di tahun 1978, dirinya mendapatkan Cultural Award dari Australia.
Setelah itu, pada tahun 1978, Sapardi Djoko Damono kembali membuat kumpulan sajak yang diberi judul Perahu Kertas dan mendapatkan penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta. Selanjutnya, sajaknya yang bertajuk Sihir Hujan (1984) mendapatkan Anugerah Puisi Poetra Malaysia. Hebatnya, puisi tersebut dikarang ketika dirinya sedang jatuh sakit.
Laki-laki berperawakan tinggi kurus ini juga pernah mendapatkan penghargaan SEA Write di Bangkok, Thailand pada tahun 1989. Semua penghargaan yang diterima itu tak lantas membuatnya menyombongkan diri. Hal itu malah membuatnya semakin ingin terus berkarya lagi.
Tidak hanya berkutat dengan puisi saja, ia juga menuangkan idenya dalam bentuk lain, salah satunya adalah cerpen. Beberapa kumpulan cerpen yang pernah diterbitkannya adalah Pengarang Telah Mati (2002), Membunuh Orang Gila (2003), Sepasang Sepatu Tua (2019), dan Menghardik Gerimis (2019).
Sapardi Djoko Damono juga menulis novel yang dikembangkan dari puisi yang digubahnya. Yang paling populer adalah novel Hujan Bulan Juni yang ditulisnya pada tahun 2015 lalu. Menyusul kesuksesan novel tersebut, sekuelnya berjudul Pingkan Melipat Jarak (2017) yang dirilis bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-77.
Pada tanggal 16 Maret 2018, ia kembali merilis buku ketiga dari series tersebut yang berjudul Yang Fana adalah Waktu. Trilogi tersebut bercerita mengenai kisah cinta muda-mudi yang terbentur perbedaan budaya dan agama.
Baca juga: Biografi Steve Jobs, Sosok Pendiri Apple yang Memiliki Ambisi Luar Biasa
Sempat Trauma dengan Penerbit
Meski sudah mempunyai nama yang besar, nyatanya tidak membuat Sapardi Djoko Damono terhindar dari janji-janji manis penerbit. Penasaran bagaimana kisahnya? Simak terus ulasan biografi Sapardi Djoko Damono berikut ini.
Cerita “dendam” Sapardi Djoko Damono pada penerbit berawal dari buku kumpulan puisinya Hujan Bulan Juni yang dirilis pada tahun 1994 oleh penerbit Grasindo. Pada awalnya, penerbit tersebut memberikan royalti kepadanya. Namun berselang beberapa waktu, dirinya tidak mendapatkan kabar apa pun lagi mengenai karyanya itu. Padahal, buku tersebut sudah dicetak ulang sebanyak empat kali.
Dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh CNN Indonesia, ia mengaku bukan masalah mengenai royalti yang sebenarnya mengganggunya. Tapi, ia ingin mengetahui bagaimana perkembangan karyanya itu di pasaran.
Tidak hanya dengan Grasindo saja, nyatanya Sapardi Djoko Damono juga mempunyai sedikit sejarah yang kurang bagus dengan Balai Pustaka mengenai beberapa karyanya. Pada tahun 1984, penerbit tersebut meminta izin untuk menerbitkan bukunya Mata Pisau dan Akuarium, serta Perahu Kertas. Namun setelah diterbitkan, dirinya tidak mendapatkan kabar apa pun, juga tidak menerima royalti.
Setelah hampir 20 tahun berlalu, penerbit tersebut meminta izin kembali untuk menerbitkan bukunya yang lain. Di situlah, ia meluapkan kekesalannya kepada perwakilan penerbit dan menarik semua bukunya. Itulah alasan mengapa pada tahun 2009, buku karya-karyanya sempat menghilang dari peredaran.
Karena merasa trauma dengan penerbit-penerbit, Sapardi Djoko Damono kemudian bertekad untuk menerbitkan bukunya sendiri. Ia juga belajar desain, menggambar ilustrasi, dan hal-hal lain dikerjakannya sendiri. Dirinya tidak membawa buku itu ke penerbit besar melainkan hanya menjualnya saat menjadi pembicara.
Hingga pada tahun 2013, Penerbit Gramedia mencoba untuk menerbitkan karyanya Hujan Bulan Juni. Setelah pihak penerbit menerima syarat yang diajukan, ia akhirnya menyetujui “anaknya” itu untuk diterbitkan.
Setelah beberapa bulan cetak, ia mengaku kaget ketika mendapati bukunya menjadi best seller. Karena penerbit tersebut juga menjaga hubungan baik dengannya, maka sedikit demi sedikit “dendam” kepada penerbit pun luntur.
Sumbangsih untuk Sastra Indonesia
Sebagai seorang sastrawan, penulis Ayat-Ayat Api ini mempunyai peran yang besar dalam memajukan sastra Indonesia. Selain karya-karya yang digubahnya, kira-kira apa saja yang dilakukannya untuk dunia sastra? Mari simak ulasan lengkapnya di biografi Sapardi Djoko Damono berikut.
1. Penerjemahan Karya-Karya
Dengan harapan untuk berbagi pengetahuan dan menambah wawasan, Sapardi Djoko Damono pun banyak menerjemahkan karya-karya penulis asing. Perlu diingat bahwa pada zaman dahulu akses teknologi belum secanggih sekarang, sehingga akses-akses untuk membaca karya sastra luar pun terbatas.
Adapun beberapa puisi karya penyair luar yang pernah diterjemahkannya adalah Sayap-Sayap Patah milik Khalil Gibran, Orang-Orang Kosong dari T. S. Eliot, Sepilihan Sajak George Seferis karya George Seferis, dan Tubuhku Berdaki karya Rumi. Selain puisi, ia juga menerjemahkan prosa seperti Pembunuhan di Katedral dari T.S Eliot dan Lelaki Tua dan Laut milik Ernest Hemingway.
Selain itu, karya-karyanya juga diterjemahkan ke beberapa bahasa asing seperti Mandarin, Jepang, Arab, Inggris, dan masih banyak lagi. Contoh karyanya yang dialihbahasakan adalah Water Color Poem, Suddenly The Night, Black Magic Rain, Before Dawn: The Poetry of Sapardi Djoko Damono, dan masih banyak lagi.
Nah, selain itu, penulis Aku Ingin ini juga melakukan banyak penelitian, menjadi narasumber, dan mengikuti berbagai seminar sastra baik yang diadakan di luar maupun dalam negeri. Misalnya seperti mengikuti workshop penerjemahan di Belanda, menjadi editor majalah Tenggara Journal of Southeast Asian Literature di Kuala Lumpur, menjadi anggota penyusun buku Anthropology of Asean Literature, dan masih banyak lagi.
Sungguh berprestasi ya sastrawan kebanggaan Indonesia ini? Nah, itu tadi sedikit prestasi yang bisa kamu simak di ulasan biografi Sapardi Djoko Damono.
2. Mendirikan Himpunan Sastra dan Yayasan Lontar
Pada tahun 1986, Sapardi Djoko Damono menggagas untuk mendirikan sebuah organisasi kesastraan Indonesia. Hal itu disampaikannya di depan semua peserta seminar Pembinaan dan Pengembangan Bahasa yang diadakan di Bogor.
Dua tahun kemudian, organisasi tersebut resmi didirikan dengan nama Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI). Ia didapuk menjadi Ketua Umum Pusat HISKI selama tiga periode berturut-turut.
Tidak hanya itu saja, laki-laki yang pernah menerima penghargaan Kalyana Kretya dari Menristek RI ini juga mendirikan sebuah organisasi nirlaba yang bernama Yayasan Lontar pada tahun 1987. Dalam membangun yayasan ini, ia bekerja sama dengan penulis kawakan lainnya, seperti Goenawan Mohamad, Umar Kayam, Subagio Sastrowardoyo, dan seorang penerjemah asal Amerika bernama John McGlynn.
Hal yang mendasari didirikannya Yayasan Lontar adalah keprihatinan terhadap kurangnya pengenalan karya sastra Indonesia di luar negeri. Padahal, hasil karya anak bangsa juga tidak kalah bagus jika dibandingkan karya penyair-penyair dunia.
Maka dari itu, yayasan ini bertujuan untuk mempromosikan budaya dan sastra Indonesia dengan cara menerjemahkan karya-karya sastra. Sehingga nantinya, karya-karya tersebut dapat diakses secara internasional.
Namun tidak sembarang naskah yang diterjemahkan, biasanya teks-teks yang dipilih mempunyai nilai penting dalam sejarah perkembangan sastra Indonesia. Contoh karya-karya yang sudah diterjemahkan adalah Salah Asuhan karya Abdoel Moeis, Belenggu karya Armijn Pane, Siti Nurbaya karya Marah Rusli, Telegram karya Putu Wijaya, dan lain-lain.
Mengulik Sedikit Kisah Cinta Sang Maestro
Sumber: Balairung Press
Anda tadi sudah menyimak ulasan mengenai perjalanan kariernya, kan? Nah, sekarang lewat ulasan biografi Sapardi Djoko Damono ini, akan terjawab rasa penasaran Anda mengenai sosok yang menjadi inspirasi karya-karyanya yang romantis. Nyatanya sosok tersebut tak lain dan tak bukan adalah Wardingingsih, sang istri.
Sapardi Djoko Damono dan Wardiningsih bertemu ketika masih muda dan menimba ilmu di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ternyata, Wardiningsih dulunya adalah adik tingkat dari SDD. Karena saling tertarik satu sama lain, keduanya kemudian memutuskan untuk menjalin cinta.
Yang namanya menjalani hubungan pasti ada pasang surutnya. Namun, mereka mampu melewati itu semua dan meresmikan jalinan cinta itu dalam ikatan pernikahan pada tahun 1965. Dari pernikahan tersebut, pasangan ini dikaruniai dua orang anak yang diberi nama Rasti Suryandani dan Rizki Henriko.
Wardiningsih memang menjadi muse atau inspirasi Sapardi Djoko Damono dalam melahirkan karya-karya puisi romantisnya. Salah satunya yang paling tersohor adalah Hujan Bulan Juni yang mempunyai makna begitu dalam. Anda tentu sudah tahu kalau hujan tidak akan turun pada bulan Juni, bukan? Namun, mengapa ia memberinya judul itu?
Bagi SDD, kehadiran sang istri dalam hidupnya laksana hujan yang mampu memberi kesejukan di musim kemarau. Sehingga, ia merasa lebih aman dan nyaman dalam menjalani kehidupan ini. Manis sekali, kan?
Nah, ada satu fakta menarik yang perlu Anda ketahui mengenai istri dari penyair maestro ini. Meskipun suaminya adalah seorang penyair, tapi ia tidak terlalu tertarik dengan sastra, lho.
Bahkan, ia jarang sekali mendampingi SDD ketika menjalani kegiatan yang berkaitan dengan sastra. Salah satu acara yang pernah didatanginya adalah ketika Sapardi Djoko Damono dianugerahi Puisi Putra II oleh Gabungan Persatuan Penulis Nasional pada tahun 1983 di Malaysia.
Akan tetapi, hal itu tidaklah mengapa karena meskipun tidak terlalu mengerti dunia sastra, ia selalu mendukung suaminya. Wardiningsih sendiri sudah berpulang pada tanggal 17 Februari 2019 lalu.
Karya Fenomenal Hujan Bulan Juni Diangkat ke Layar Lebar
(Sumber: Instagram – damonosapardi)
Saat membaca biografi Sapardi Djoko Damono di atas, Anda pasti beberapa kali menjumpai karyanya Hujan Bulan Juni disebutkan beberapa kali. Sepopuler apa sebenarnya karyanya ini?
Pada awalnya, puisi tersebut diterbitkan pertama kali di sebuah media cetak pada tahun 1989. Oleh para mahasiswanya, puisi tersebut dituangkan dalam bentuk musik dan menjadi tambah populer pada tahun 1990.
Beberapa puluh tahun kemudian, karyanya itu semakin populer dan digemari oleh berbagai orang dari lintas generasi karena bahasanya yang sederhana dan mudah dipahami, tapi tetap bermakna. Hingga pada tahun 2015, ia kemudian menerbitkan sebuah novel berdasarkan puisi tersebut dan diberi judul yang sama.
Novel Hujan Bulan Juni mengisahkan tentang Sarwono, seorang lelaki keturunan Jawa yang menjalin cinta dengan Pingkan yang merupakan keturunan Jawa-Manado. Sayangnya, perbedaan latar belakang dan agama membuat hubungan keduanya kurang berjalan mulus. Terlebih lagi, adanya tekanan orang tua Pingkan yang tidak suka dengan Sarwono dan lebih memilih menjodohkan anaknya dengan orang lain yang dinilai lebih pantas.
Kalau Anda penasaran bagaimana kisah lengkapnya, bisa langsung saja membaca novelnya. Tidak hanya jalan ceritanya yang menarik, tapi Anda juga akan dimanjakan dengan permainan kata dari penulis yang begitu indah.
Dua tahun setelah diterbitkan, novel ini pun diangkat ke layar lebar pada tahun 2017 dengan menggandeng Adipati Dolken dan Velove Vexia sebagai tokoh utamanya. Buat Anda yang lebih suka film daripada membaca, tidak ada salahnya menonton film ini. Dijamin Anda tidak akan kecewa saat menyaksikannya.
Pelajaran yang Diambil setelah Membaca Biografi Sapardi Djoko Damono
Demikianlah biografi lengkap Sapardi Djoko Damono yang bisa Anda simak di PosBagus. Cukup lengkap bukan? Semoga bisa mengurangi rasa penasaran Anda akan sosoknya.
Dari ulasan di atas, ada banyak sekali pelajaran yang bisa diambil, salah satunya adalah untuk tetap berjuang menggapai cita-cita. Mempunyai bakat memang sebuah anugerah, tapi kalau tidak diasah juga akan sama saja, bukan? Belajarlah dari SDD yang tidak hanya mengandalkan bakat, tapi juga dengan konsisten mengasah bakat yang dimiliki.
Tidak hanya Sapardi Djoko Damono, Anda juga bisa menyimak biografi tokoh-tokoh lain yang tidak kalah menginspirasi baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Beberapa di antaranya adalah Nelson Mandela, Chairil Anwar, Bob Sadino, dan masih banyak lagi.
Buat Anda yang sedang membutuhkan inspirasi juga bisa membaca kumpulan kata-kata motivasi di sini. Selain itu, jika Anda sedang merencanakan liburan juga bisa menyimak artikel mengenai berbagai rekomendasi tempat wisata yang asyik untuk dikunjungi. Mari baca PosBagus untuk semakin menambah pengetahuan Anda!