
Di zaman penjajahan Belanda ada hukum berjuluk speek delict yang akan menjerat siapa pun yang berbicara tidak baik mengenai Belanda. Nah, di antara sekian banyak tokoh pergerakan nasional, Rasuna Said adalah wanita pertama yang terjerat hukum ini. Mengapa bisa demikian? Yuk, simak kisahnya dalam biografi Rasuna Said ini!
- Nama Lengkap
- Hajjah Rangkayo Rasuna Said
- Nama Panggilan
- Rasuna Said
- Tempat, Tanggal Lahir
- Maninjau, 14 September 1910
- Meninggal
- Jakarta, 2 November 1965
- Pasangan
- Duski Samad (suami pertama), Bairun AS (suami kedua)
- Anak
- Auda, Darwin
- Orang Tua
- Muhammad Said (Ayah)
Pahlawan memang identik dengan seseorang yang kuat. Namun, gelar pahlawan bukan hanya milik laki-laki yang sering dianggap lebih kuat dari wanita. Dalam biografi ini kami akan mengulas tentang Rasuna Said, wanita tangguh asal Sumatra Barat yang dinobatkan sebagai pahlawan nasional.
Rasuna Said adalah sosok perempuan yang sangat memperjuangkan hak-hak kaum wanita, terutama di bidang pendidikan. Sebab, di zaman penjajahan Belanda, akses pendidikan bagi wanita masih sangat terbatas.
Selain memperjuangkan hak kaumnya, ia juga sosok yang gemar berpolitik. Sepak terjangnya di bidang politik bahkan sempat membuatnya dipenjara oleh pemerintah Hindia Belanda.
Meski demikian, ia tetap melanjutkan perjuangannya setelah keluar dari penjara. Nah, kalau Anda penasaran dengan kisah perjalanan hidup Rasuna Said selengkapnya, tetap simak biografi ini hingga usai!
Kehidupan Pribadi
Sebelum menyimak lebih jauh mengenai perjuangannya di bidang pendidikan maupun politik, ada baiknya jika di bagian awal biografi HR Rasuna Said ini kami bahas dulu mengenai latar belakang keluarga, pendidikan, dan kisah asmaranya. Yuk, simak!
1. Latar Belakang Keluarga
Hajjah Rangkayo Rasuna Said atau biasa dipanggil Rasuna Said lahir di Desa Panyinggahan, Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatra Barat pada tanggal 14 September 1910. Ia merupakan seorang perempuan bangsawan Minangkabau.
Ayahnya yang bernama Muhammad Said, mendirikan perusahaan bernama CV Tunaro Yunus bersama sang paman. Usaha tersebut terbilang sukses sehingga mereka dikenal sebagai keluarga kaya dan terpandang di lingkungannya.
2. Pendidikan
Saat usianya enam tahun, Rasuna belajar di sekolah desa Maninjau sampai tamat di kelas 5. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya ke Diniyah School di Padang Panjang yang dipimpin oleh Zainudin Lebai El Yunusi.
Sekolah tempatnya belajar memiliki tradisi yang mengharuskan siswa dari kelas yang lebih tinggi mengajar di kelas yang lebih rendah. Oleh sebab itu, Rasuna pun bisa sekalian berlatih mengajar.
Pada tahun 1923, saat menginjak usia 13 tahun, Rasuna diangkat menjadi pengajar pembantu di Madrasah Diniyah Puteri yang didirikan Rahmah El Yunusiyah, seorang tokoh emansipasi wanita dari Minangkabau. Sekadar informasi, Madrasah Diniyah Putri merupakan sekolah wanita pertama di Indonesia.
Meski ditugaskan sebagai pengajar pembantu, ia masih menimba ilmu pada Dr. H. Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka) yang merupakan pemimpin terkemuka Kaum Muda di Padang Panjang. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya di Sekolah Meses, yaitu sekolah yang khusus mempelajari ilmu pengaturan rumah tangga dan masak-memasak.
Pada tahun 1926, Padang Panjang diguncang gempa hebat sehingga Rasuna lebih memilih untuk pulang ke kampung halamannya di Maninjau. Berada di desa tempat ia dilahirkan, Rasuna tak tinggal diam begitu saja. Ia pun pergi belajar pada H. Abdul Majid yang merupakan pemimpin golongan Kaum Tua.
Namun, ia tak lama belajar pada H. Abdul Majid karena merasa tidak mendapatkan keserasian jiwa. Ia pun lebih memilih belajar ke Sekolah Thawalib di Panyinggahan Maninjau.
Sekolah Thawalib merupakan sebuah lembaga pendidikan yang didirikan oleh perkumpulan Sumatra Thawalib. Perkumpulan ini menganut paham nasionalisme dan berhaluan radikal seperti Mustafa Kemal Attaturk dari Turki. Hebatnya, di sekolah yang dijadwalkan selesai dalam rentang waktu empat tahun ini, Rasuna bisa lulus hanya dalam dua tahun.
Baca juga: Biografi Ibnu Rusyd, Cendekiawan Muslim yang Mampu Menafsirkan Karya Aristoteles Secara Gamblang
3. Kisah Asmara
Pada zaman dahulu, perjodohan adalah hal yang lumrah. Mungkin bagi laki-laki, pemberlakuan perjodohan bisa sedikit longgar, tapi tidak demikian halnya dengan perempuan. Namun, Hajjah Rangkayo Rasuna Said, sosok perempuan cerdas dan tangguh, berani menentang tradisi tersebut. Bagaimana kisahnya? Tetap simak biografi HR Rasuna Said ini!
a. Menikahi Lelaki yang Tak Ditentang Keluarga
Pernah suatu hari, ia dijodohkan oleh seorang laki-laki beristri. Namun, ia menolak mentah-mentah untuk menikah dengan lelaki yang sudah beristri tersebut. Ia adalah sosok yang benar-benar menentang poligami. Bahkan menurutnya, tingginya tingkat perceraian di Minangkabau adalah karena maraknya poligami.
Setelah sempat menolak dijodohkan, Rasuna akhirnya menikah pada tahun 1929. Ia menerima lamaran laki-laki bernama Duski Samad yang sebenarnya tak direstui keluarganya.
Ya, pihak keluarga menentang pernikahannya dengan Duski karena perbedaan status sosial. Duski Samad adalah pemuda yang cerdas dan taat beragama, tapi ia berasal dari kalangan biasa sehingga keluarga Rasuna yang terpandang merasa keberatan.
Meski demikian, ia tetap nekat menikah dengan Duski hingga dikaruniai satu anak perempuan bernama Auda dan satu anak laki-laki bernama Darwin. Namun, pernikahan mereka harus berakhir tak lama kemudian. Konon katanya, perpisahan mereka disebabkan karena komunikasi yang kurang.
b. Tetap Berhubungan Baik dengan Mantan Suami
Tapi anehnya, setelah bercerai dengan Duski, Rasuna jadi tambah lantang menentang poligami. Bahkan ia pernah mengatakan bahwa dirinya lebih memilih untuk bercerai daripada dimadu. Hal ini membuat orang-orang berpikir bahwa mereka bercerai karena Duski berniat poligami.
Terlepas dari persoalan tersebut, hubungan Rasuna dan Duski masih terjalin dengan baik, bahkan meski mereka kemudian memiliki pandangan politik yang berbeda. Pada masa pemberontakan PRRI tahun 1958, Duski adalah pendukung PRRI, sedangkan Rasuna lebih berpihak pada Soekarno.
Saking akrabnya, Duski sering mengunjungi HR Rasuna Said di Jakarta dan menginap di rumah sang mantan istri selama berhari-hari. Melihat hal tersebut, Mohammad Natsir, tokoh nasional asal Sumatra Barat yang merupakan keponakan jauh Duski merasa khawatir.
Natsir tak ingin sang paman dan Rasuna diterpa gosip yang tak sedap. Menanggapi kekhawatiran Natsir, Duski menegaskan bahwa dirinya adalah seorang yang mengerti agama sehingga tahu mana yang halal dan haram.
Pada tahun 1937, Rasuna menikah untuk kedua kalinya dengan seorang pria bernama Bairun AS. Namun, lagi-lagi pernikahan ini tak bertahan lama dan berujung perceraian. Dari pernikahan keduanya, ia tak dikaruniai anak.
Baca juga: Biografi Sunan Bonang, Anggota Wali Songo yang Letak Makam Aslinya Masih Diperdebatkan
Perjuangan di Era Penjajahan
Sumber: Facebook – Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi
Meski merupakan seorang wanita, ia tak mau ketinggalan berjuang di bidang politik untuk memperjuangkan nasib bangsa. Ingin tahu tentang sepak terjang wanita asal Minangkabau ini dalam dunia politik? Berikut rangkumannya dalam biografi HR Rasuna Said ini!
1. Bergabung dengan Sarekat Rakyat
Sejak belajar di Sekolah Thawalib, Rasuna jadi semakin tertarik dengan dunia politik. Malah, ia sempat mengusulkan untuk memasukkan politik sebagai pelajaran di sekolah tempatnya bekerja. Namun, usulan tersebut tidak terwujud sehingga ia lebih memilih menyalurkan minatnya di bidang politik dengan bergabung menjadi anggota Sarekat Rakyat (pecahan Sarekat Islam yang berhaluan komunis).
Pada tahun 1926, saat usianya baru menginjak 16 tahun, ia dipercaya menjabat sebagai sekretaris Sarekat Rakyat cabang Sumatra Utara. Tak lama setelah ia menduduki posisi sebagai sekretaris Sarekat Rakyat, Partai Komunis Indonesia melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda di Silungkang, Sumatra Barat.
Akibatnya, polisi rahasia Belanda pun melakukan pengejaran terhadap aktivis berhaluan kiri. Tentu saja hal ini kemudian juga berdampak buruk pada Sarekat Rakyat. Kemudian karena semakin sulit bergerak, Rasuna pun memilih untuk meninggalkan Sarekat Rakyat.
2. Bergabung dengan PERMI
Merasa sudah tak bisa leluasa bergerak di Sarekat Rakyat, ia memilih untuk menyalurkan semangat perjuangannya bersama Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI). Seperti apa kegiatannya bersama partai ini? Ini dia kisahnya dalam biografi Rasuna Said berikut.
a. Berperan Aktif di Bidang Pendidikan
PERMI didirikan oleh perhimpunan Sumatra Thawalib dalam konferensi yang terlaksana di Bukittinggi pada tanggal 22–27 Mei 1930. Dengan berdirinya PERMI, perhimpunan Sumatra Thawalib yang tadinya lebih terfokus dalam bidang pendidikan, jadi lebih memperhatikan bidang politik.
Bahkan, pada tahun 1932 PERMI mendeklarasikan diri sebagai partai politik dan mengubah namanya menjadi Partai Muslimin Indonesia. Partai ini bersifat non-kooperatif atau tidak mau bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda.
Selama bergabung dengan PERMI, Rasuna ikut mengajar di sekolah-sekolah yang didirikan oleh partai tersebut, seperti Sekolah Thawalib Putri dan Kursus Puteri di Bukittinggi. Tak hanya mengajar, ia juga memprakarsai berdirinya Sekolah Menyesal yang merupakan kursus pemberantasan buta huruf dan Sekolah Thawalib Rendah di Padang.
Baca juga: Biografi Laksamana Malahayati, Pahlawan Perempuan dari Aceh yang Menghabisi Cornelis de Houtman
b. Dipenjara karena Pidatonya
Selain aktif di bidang pendidikan, Rasuna juga aktif berpidato di acara-acara PERMI. Bahkan karena sepak terjangnya, partai ini semakin diawasi oleh Polisi Urusan Politik Hindia Belanda (Politike Inlichtingen Dienst/PID).
Setelah itu, setiap rapat umum yang diselenggarakan PERMI pasti dihadiri oleh perwakilan dari PID. Jika ada pidato yang dianggap terlalu keras dan dianggap melanggar ketentraman umum, perwakilan PID akan mengetok palu dan memperingatkan pembicara.
Hal tersebut sangat sering terjadi ketika HR Rasuna Said maju sebagai pembicara. Namun, pada suatu hari di tahun 1932, saat Rasuna berpidato di Payakumbuh, isi pidatonya dianggap terlalu keras sehingga ia diperintahkan untuk berhenti berpidato.
Ia kemudian menjadi wanita pertama di Indonesia yang dikenai speek delict, yaitu hukum kolonial Belanda yang menyatakan bahwa siapa saja dapat dihukum karena berbicara menentang Belanda. Ia pun akhirnya dijatuhi hukuman penjara selama 1 tahun 2 bulan di Semarang, Jawa Tengah.
Menjalani hukuman di penjara tak membuat semangat perjuangan Rasuna luntur. Setelah bebas, ia pun kembali ke Sumatra Barat dan tinggal di Padang. Kembali ke kampung halaman, sebenarnya ia ingin melanjutkan perjuangan di bidang politik bersama PERMI.
Namun, pergerakan partai tersebut jadi makin terbatas setelah pemerintah Hindia Belanda menangkap para pemimpin utamanya, yaitu Muchtar Luthfi, Jalaluddin Thaib, dan Ilyas Yakub. Mereka bertiga diadili pada tahun 1933 dan dibuang ke Digul, Irian pada 1934.
c. Belajar di Islamic College
Sementara vakum dari kegiatan politik, Rasuna yang saat itu berusia 23 tahun memilih mengisi waktunya dengan belajar di Islamic College. Lembaga pendidikan yang didirikan oleh Dewan Pengajaran PERMI pada tahun 1931 ini dipimpin oleh Muchtar Yahya.
Selama belajar di Islamic College, ia sempat terpilih menjadi pemimpin redaksi majalah Raya yang diterbitkan para mahasiswa kampus tersebut. Tulisan-tulisannya pun menjadi sangat terkenal berkat keberaniannya dalam menyuarakan cita-cita pendidikan, sosial, dan politik bagi bangsa Indonesia.
Namun, ia tak lagi bisa berlama-lama berjuang dengan PERMI karena pemerintah Hindia Belanda semakin mengintimidasi para pengikut partai tersebut. Hari demi hari, bukannya semakin membaik, tindakan Belanda terhadap PERMI justru semakin memburuk sehingga tidak ada pilihan lain selain membubarkan diri pada tanggal 28 Oktober 1937.
3. Hijrah ke Sumatra Utara
Saat PERMI dibubarkan pada 1937, pendidikannya di Islamic College yang memakan waktu sekitar 4 tahun juga telah usai. Untuk melanjutkan perjuangannya, HR Rasuna Said, wanita yang kita bahas dalam biografi ini kemudian hijrah ke Medan, Sumatra Utara.
Di Medan, bentuk perjuangan Rasuna Said awalnya difokuskan dalam bidang pendidikan. Ia mendirikan sebuah sekolah yang dinamakan Perguruan Puteri pada tahun 1937. Selain mengajar, ia yang kadung jatuh cinta dengan dunia jurnalistik pun menerbitkan majalah Menara Puteri.
Slogan majalah yang diprakarsai oleh Rasuna ini mirip dengan slogan Bung Karno, yaitu “ini dadaku, mana dadamu”. Isi majalah Menara Puteri yang terbit mingguan kebanyakan membahas mengenai perempuan.
Meski demikian, sasaran pokok Menara Puteri adalah memasukkan kesadaran mengenai antikolonialisme pada masyarakat. Rasuna mengelola rubrik Pojok dengan nama samaran Seliguri yang tulisan-tulisannya dikenal tajam dan tepat sasaran.
Saking terkenalnya Menara Puteri, koran Penyebar Semangat di Surabaya pernah menulis tentang majalah tersebut. Berikut isi ulasannya, “Di Medan ada sebuah surat kabar bernama Menara Poetri. Isinya dimaksudkan untuk jagad keputrian. Bahasanya bagus, dipimpin oleh Hajjah Rangkayo Rasuna Said, seorang putri yang pernah masuk penjara karena berkorban untuk pergerakan nasional.”
Meski demikian, Menara Puteri tak berumur panjang. Bukan karena dihentikan Belanda, majalah tersebut berhenti beroperasi karena sebagian besar pelanggannya tak membayar tagihan. Ya, hanya sekitar 10 persen dari pembacanya yang membayar tagihan.
4. Sepak Terjang di Era Pendudukan Jepang
Saat Belanda kalah perang dan menyerahkan kekuasaan atas Indonesia pada Jepang, ia kembali ke Padang. Berikut kisah perjuangannya selama masa penjajahan Jepang dalam biografi HR Rasuna Said ini.
Sekembalinya Rasuna ke Padang, ia mendirikan Pemuda Nippon Raya bersama Chotib Sulaeman untuk kembali mempersatukan para pemuda Sumatra Barat. Pada awalnya, Pemuda Nippon Raya bekerja sama dengan pemerintah Jepang. Ya, mereka menyembunyikan cita-cita sebenarnya dari penjajah karena tak ingin organisasinya dibubarkan begitu saja.
Namun, pada suatu hari ketika sedang berhadapan dengan seorang pembesar Jepang bernama Mishimoto, Rasuda Said berkata, “Boleh Tuan menyebut Asia Raya karena Tuan menang, tetapi Indonesia Raya pasti ada di sini.” Ia mengatakan hal tersebut sambil menunjuk dadanya.
Mendengar hal tersebut, Mishimoto pun melaporkannya pada petinggi Jepang yang lain sehingga mereka memutuskan untuk membubarkan Perkumpulan Nippon Raya. Para pemimpinnya, termasuk HR Rasuna Said, kemudian ditangkap.
Akan tetapi, tak lama setelah itu HR Rasuna Said dan kawan-kawannya kembali dibebaskan karena pengaruhnya yang begitu besar pada rakyat. Jepang tak ingin usahanya dalam merebut hati masyarakat Indonesia jadi hancur karena sebenarnya mereka membutuhkan rakyat nusantara untuk membantu mereka berperang menghadapi Sekutu.
Setelah pemerintah Jepang membentuk Heiho dan Pembela Tanah Air di Jawa, para pemimpin rakyat di Sumatra Barat mengusulkan pada Jepang untuk membentuk Gya Gun atau Laskar Rakyat. Tak disangka, usul ini diterima Jepang sehingga dibentuklah Laskar Rakyat yang tugas pelaksanaannya diserahkan pada Chotib Sulaeman. Sedangkan Rasuna dipercaya memegang jabatan sebagai pimpinan bagian putri yang berjuluk Tubuh Ibu Pusat Laskar Rakyat.
Baca juga: Biografi Nyi Ageng Serang, Pahlawan Wanita dari Grobogan yang Merupakan Ahli Strategi Perang
Tetap Berjuang Setelah Indonesia Merdeka
Diwakili oleh Soekarno, pada 17 Agustus 1945 rakyat nusantara memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Meski Indonesia telah merdeka, HR Rasuna Said tetap melanjutkan perjuangannya, seperti yang telah kami rangkum dalam biografi ini.
Setelah Indonesia merdeka, Rasuna melebarkan sayap Komite Nasional Indonesia (KNI) Sumatra Barat dengan cara membentuk KNI Kawedanan dan Nagari. Selain itu, ia bersama para kepala daerah juga menjadi anggota Panitia Pembentukan Dewan Perwakilan Nagari yang kemudian membentuk Dewan Perwakilan Nagari.
Tak berhenti sampai di situ, pada tanggal 17 April 1946, terbentuklah Dewan Perwakilan Sumatra (DPS). HR Rasuna Said saat itu terpilih sebagai salah satu anggota dewan, mewakili Sumatra Barat.
Setelah menjabat sebagai anggota DPS, karier politiknya semakin melesat. Dalam rapat pleno ke-8 KNI Sumatra Barat yang terlaksana pada 4–6 Januari 1947, Rasuna Said terpilih sebagai satu dari beberapa orang yang mewakili Sumatra untuk menjabat sebagai anggota KNI Pusat di Jakarta. Di samping menjabat sebagai anggota dewan, ia juga duduk sebagai anggota pengurus Front Pertahanan Nasional sebagai anggota seksi kewanitaan.
Ketika ibu kota Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta, HR Rasuna Said dipercaya menduduki posisi sebagai Badan Pekerja KNIP yang berkedudukan di Yogyakarta. Setelah terlaksananya Konferensi Meja Bundar, Indonesia mengubah bentuk negara menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Kemudian ia ditunjuk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia Serikat.
Ketika Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) diberlakukan, ia dipercaya menjabat sebagai anggota DPR sementara. Lalu pada tanggal 11 Juli 1957, ia dinobatkan sebagai anggota Dewan Nasional.
Pada tanggl 5 Juli 1959 saat Soekarno mengumumkan tentang Dekrit Presiden yang menandai berlakunya kembali UUD 1945 sebagai konstitusi resmi Republik Indonesia, Rasuna ditunjuk sebagai Dewan Pertimbangan Agung.
Akhir Hayat
Sumber: Twitter – fadlizon
Inilah akhir kisah HR Rasuna Said dalam biografi ini. Sepanjang hidupnya, ia tak pernah berhenti berjuang demi kemerdekaan bangsa Indonesia. Meski merupakan seorang wanita, ia berani dengan lantang menyuarakan pendapatnya di hadapan para penjajah. Bahkan, dinginnya jeruji besi pun tak membuatnya kapok untuk berjuang.
Setelah Indonesia merdeka, ia tak lantas berhenti begitu saja. Di awal pembentukan negara yang masih banyak diwarnai kisruh politik dan pemberontakan, ia turut terlibat dalam berbagai aksi demi kedamaian bangsa. Salah satu caranya adalah dengan meminta pada pemimpin pemberontakan PRRI, yaitu Akhmad Husein agar tak membawa nama rakyat Sumatra Barat dalam pemberontakan tersebut.
Setelah sekian lama berperan aktif dalam usaha meraih kemajuan bangsa, Rasuna akhirnya tumbang karena penyakit kanker yang menggerogoti tubuhnya. Ia pun menghembuskan napas terakhirnya pada tanggal 2 November 1965 di Jakarta dalam usia 55 tahun.
Jenazah wanita yang saat meninggalnya masih berstatus Dewan Pertimbangan Agung ini kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Untuk menghargai jasa-jasanya, melalui Surat Keputusan Presiden RI No. 084/TK/Tahun 1974, pada 13 Desember 1974 Hajjah Rangkayo Rasuna Said resmi ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
Baca juga: Biografi Abdul Haris Nasution, Jenderal Angkatan Darat yang ‘Disingkirkan’ Soeharto
Pelajaran yang Bisa Diambil dari Biografi Rasuna Said
Itu tadi adalah profil dan biografi HR Rasuna Said yang telah kami sajikan secara lengkap, mulai dari latar belakang keluarga, kisah asmara, perjuangan di era penjajahan, hingga sepak terjangnya setelah kemerdekaan Indonesia. Apakah Anda sudah merasa puas dengan sajian di atas?
Ada banyak pelajaran yang bisa diambil dengan membaca biografi HR Rasuna Said di atas. Salah satunya, mungkin Anda jadi paham bahwa untuk meraih apa yang dicita-citakan, tak jarang diperlukan ketangguhan untuk menghadapi jalan berliku dan penuh duri. Namun jika Anda pantang menyerah, yakinlah bahwa akan ada sesuatu yang indah menanti di akhir perjalanan.
Nah, jika Anda ingin mendapatkan motivasi dari biografi tokoh-tokoh selain HR Rasuna Said, terus simak PosBagus.com. Selain tentang tokoh pahlawan nasional, ada juga biografi tentang para tokoh cendekiawan, seperti Albert Einstein dan Ibnu Sina.