
Tentunya Anda pernah mendengar nama Avicenna atau Ibnu Sina, bukan? Banyak kontroversi yang beredar tentang Avicenna, terutama dalam hal ideologinya. Nah, jika Anda penasaran dengan segala hal mengenai cendekiawan yang lahir di masa kejayaan Dinasti Abbasyiyah tersebut, yuk, simak biografi Ibnu Sina ini!
Mungkin selama ini Anda hanya mengetahui Ibnu Sina atau yang juga terkenal dengan nama Avicenna sebagai dokter, filsuf, ilmuwan, dan penulis. Nah, dalam artikel berikut, kami menyajikan biografi Ibnu Sina lengkap untuk menambah pengetahuan Anda tentang sosok cendekiawan asal Persia ini.
Ya, Ibnu Sina berasal dari Persia, negara di wilayah Timur Tengah yang saat ini berubah nama menjadi Iran. Ia lahir sebagai seorang muslim pada saat Islam sedang berada di puncak kejayaannya.
Tak hanya sekadar ber-Islam karena keturunan, Avicenna adalah seorang muslim yang taat. Wah… kok bisa, ya, seorang muslim yang taat menjadi filsuf yang notabene pemikirannya bertabrakan dengan nilai-nilai ketuhanan?
Nah, kalau Anda penasaran dengan sosok Avicenna yang mendapat julukan Bapak Kedokteran Modern ini, yuk, simak profil dan biografi Ibnu Sina lengkap dalam uraian berikut. Selamat membaca!
Kehidupan Pribadi
Sebelum mengetahui lebih jauh tentang kiprah seseorang dalam kariernya, alangkah baiknya jika mengenali terlebih dahulu tentang asal-usul dan latar belakangnya. Oleh sebab itu, berikut kami sajikan informasi tentang kehidupan pribadi Ibnu Sina dalam biografi ini.
1. Masa Kecil
Hussain bin Abdullah bin Hassan Ali bin Sina lahir pada tahun 980 M di Afsyanah dekat dengan wilayah Bukhara yang saat ini menjadi negara Uzbeskistan. Ia mempunyai seorang adik yang lahir lima tahun setelah kelahirannya.
Abdullah, ayah Ibnu Sina, merupakan seorang sarjana asal Balkh Khorasan (sekarang masuk wilayah Afghanistan) yang bekerja sebagai pegawai pemerintahan Dinasti Samaniyah (dinasti yang berinduk pada Dinasti Abbasiyah di Baghdad). Sedangkan sang ibu yang bernama Setareh merupakan wanita asli Bukhara.
Ibnu Sina mulai belajar menghafal Alquran sejak usia 5 tahun dan berhasil menjadi penghafal Alquran pada usia 10 tahun. Selain dikenal sebagai hafidz (penghafal Alquran), ia juga dikenal sebagai mufasir (ahli tafsir Alquran). Ia selalu mengkhatamkan Alquran tiap satu bulan sekali secara rutin sepanjang hidupnya.
Ibnu Sina mulai belajar tentang Aritmatika dari seorang pedagang sayur dari India bernama Mahmoud Massahi. Ia juga belajar tentang ilmu Fiqih (hukum Islam) pada Ismail Al Zahid yang menganut mazhab Sunni Hanafi.
Ya, seolah tak ada puasnya dengan segala jenis ilmu pengetahuan, ia juga tertarik dengan teori-teori Filsafat karya para filsuf Yunani. Jika merasa bingung, maka ia akan melengkapinya dengan membaca karya Al Farabi yang dibelinya di toko buku seharga tiga dirham.
Agar Ibnu Sina bisa lebih memahami Filsafat, sang ayah bahkan juga mendatangkan seorang guru bernama Abu Abdullah An Natili. Namun, lama-kelamaan Ibnu Sina merasa bahwa sang guru tak lebih mengerti tentang Filsafat dibanding dirinya. Oleh sebab itu, ia sering memikirkan sendiri jawaban-jawaban dari pertanyaannya.
Jika mengalami kebuntuan saat belajar Filsafat yang meliputi Teologi, Metafisika, dan Eksperimen Pikiran, maka ia akan meninggalkan buku-bukunya untuk berwudhu dan beribadah ke masjid. Ia terus-menerus berdoa agar mendapat hidayah yang bisa mencerahkan pikirannya.
Ia tak pernah menyerah dalam memahami suatu ilmu, tak peduli sesulit apa pun ilmu tersebut. Bahkan, terkadang kesulitannya dalam belajar juga sampai terbawa mimpi. Jika telah mampu memahami suatu ilmu yang menurutnya sulit, ia akan langsung berterima kasih pada Tuhan dan memberikan sedekah pada fakir miskin.
2. Masa Dewasa
Tertarik dengan segala jenis ilmu alam, Ibnu Sina pun akhirnya mulai melirik ilmu Kedokteran. Untuk mendalami bidang kedokteran, ia belajar pada seorang guru bernama Abu Mansur Al Hasan bin Nuh Al Qumri dan Abu Sahl Isa bin Yahya Al Masihi. Dua gurunya adalah dokter yang berada di daerah Bukhara.
Dalam waktu yang singkat, Ibnu Sina berhasil menguasai ilmu Kedokteran, hingga pada akhirnya, di usia 16 tahun ia mulai mengobati pasien tanpa memungut biaya. Namun, justru dengan cara mengobati pasien itulah wawasannya dalam hal kesehatan semakin bertambah. Nah, selain mengobati pasien dengan berbekal ilmu yang diajarkan sang guru, ia juga berpedoman pada Alquran untuk menentukan cara pengobatan yang tepat bagi pasiennya.
Meski sudah sibuk dengan kegiatan sehari-harinya sebagai dokter, Abu Ali masih tetap rajin membaca-baca karya filsafat. Untuk menghemat waktu, ketika menemui pernyataan yang sulit dipahami, ia akan menuliskan rumusan ulangnya di sebuah kertas. Menurutnya, hal ini akan memudahkan dalam menemukan jawaban dari persoalan tersebut.
Mungkin Anda bingung, bagaimana bisa Ibnu Sina mempelajari dan menguasai sebegitu banyaknya ilmu? Ya, selain karena kecerdasaannya yang memang di atas rata-rata, pekerjaan sang ayah sebagai pegawai pemerintahan menjadikannya mampu mendapatkan akses pendidikan yang baik.
Baca juga: Biografi Abdul Haris Nasution, Jenderal Angkatan Darat yang ‘Disingkirkan’ Soeharto
Menjadi Dokter Penguasa
Kariernya sebagai dokter semakin menanjak tatkala berhasil mengobati Nuh bin Mansur, penguasa Dinasti Samaniyah, yang saat itu sedang sakit. Ya, ketika Nuh bin Mansur sakit, banyak dokter yang sudah berusaha menyembuhkannya, tapi tak berhasil.
Jajaran petinggi negeri yang telah mendengar tentang kehebatan ilmu Ibnu Sina beserta keluasan ilmunya pun memanggil pemuda asal Bukhara tersebut untuk mengobati sang raja. Tak dinyana, Ibnu Sina berhasil menyembuhkan Nuh bin Mansur hingga diberikan hadiah berupa perpustakaan yang bisa diakses olehnya kapan pun ia mau.
Dengan demikian, ia bisa mempelajari berbagai bidang ilmu, mulai dari hukum, sastra, segala ilmu alam, hingga buku-buku kuno yang belum pernah dilihatnya hanya dengan mengunjungi perpustakaan.
Karya Fenomenal yang Menjadi Dasar Ilmu Kedokteran Modern
Ibnu Sina, selain sebagai cendekiawan, juga merupakan seorang penulis yang hebat. Mulai menulis sejak usia 21 tahun, ia menuangkan pemikiran-pemikirannya yang mencakup berbagai bidang ilmu dalam bentuk tulisan sehingga bisa dipelajari oleh orang-orang yang hidup setelah kematiannya.
Nah, di antara 240 buku yang telah dibuatnya, ada satu yang begitu fenomenal hingga membuatnya dijuluki sebagai Bapak Kedokteran Modern. Penasaran bukunya seperti apa? Simak terus biografi Ibnu Sina ini!
Terkenal dengan judul The Canon of Medicine, buku karya Avicenna yang fenomenal ini memiliki judul asli Al Qanun fi Al Tibb (القانون في الطب) atau jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, judulnya akan menjadi Kaidah Kedokteran. The Canon of Medicine merupakan ensiklopedia kedokteran yang terbagi menjadi lima buku. Sejak dipublikasikan, The Canon of Medicine menjadi patokan dunia medis selama berabad-abad. Berikut ringkasan isi bukunya.
1. Buku Pertama
Buku pertamanya terdiri dari beberapa bab. Bab pertama membahas mengenai definisi dan ruang lingkup kedokteran yang isinya menjelaskan sebab-sebab penyakit yang bisa digolongkan menjadi empat, yaitu penyebab material, penyebab efisien, penyebab formal, dan penyebab akhir. Bab kedua, tentang unsur kosmologi yang meliputi tanah, udara, air, dan api.
Bab ketiga membahas tentang kebersihan, kesehatan, penyakit, dan kematian. Sedangkan bab keempat berisi pembahasan mengenai nosologi terapeutik, gambaran umum rejimen, dan perawatan diet.
2. Buku Kedua
Buku keduanya, Materia Medica, berisi tentang 800 zat medis sederhana (tak mencampur beragam zat medis menjadi satu) yang bisa digunakan untuk mengobati berbagai macam penyakit. Bagian pertama dari buku keduanya berisi tentang aturan umum tentang obat-obatan dan ilmu kekuatan obat-obatan.
Sedangkan bagian kedua berisi daftar 800 zat bunga, mineral, dan hewan sederhana. Setiap poin berisi nama zat, kriteria kebaikannya (ada juga yang sekaligus menerangkan bagaimana zat itu ditemukan di alam), dan sifatnya. Dan yang paling utama di buku bagian kedua ini adalah dimuatnya tujuh aturan dan prinsip-prinsip untuk menguji efektivitas obat-obatan dan obat baru seperti yang tertera berikut ini.
- Obat harus bebas dari hal-hal lain yang bisa memengaruhinya (misalnya dari terpapar zat-zat panas maupun dingin).
- Percobaan harus dilakukan pada satu kondisi, bukan kondisi komposit (tidak boleh diuji pada pasien yang memiliki penyakit komplikasi).
- Obat harus diuji pada dua kondisi yang bertentangan (suatu obat mungkin langsung berefek pada suatu penyakit, tapi barangkali juga efektif melawan penyakit lain dengan meringankan gejalanya).
- Kualitas obat harus sesuai dengan kekuatan penyakit. Yang terbaik adalah bereksperimen terlebih dahulu dengan dosis yang terlemah dan kemudian meningkatkannya secara bertahap sampai Anda mengetahui potensi obat, sehingga tak ada lagi keraguan.
- Seseorang harus mempertimbangkan waktu yang diperlukan untuk obat tersebut berefek. Jika obat tersebut memiliki efek langsung, ini menunjukkan bahwa obatnya telah bertindak melawan penyakit itu sendiri.
- Efek obat harus sama dalam semua kasus, atau paling tidak di sebagian besar kasus. Sebab jika efek obat tidak terjadi, itu bisa jadi merupakan suatu kebetulan.
- Percobaan harus dilakukan pada tubuh manusia. Sebab, mungkin efek yang ditimbulkan pada hewan tak sama dengan efek yang ditimbulkan pada manusia.
Baca juga: Biografi Sultan Ageng Tirtayasa, Pahlawan Nasional Asal Banten yang Dikudeta Putranya Sendiri
3. Buku Ketiga
Buku ketiganya, Special Pathology, isinya mencakup fungsi dan penyakit masing-masing organ. Bagian ini juga menggambarkan sifat penyakit menular yang bisa menimbulkan infeksi, seperti TBC (Tuberkulosis).
Hebatnya, buku ini yang pertama kali menjelaskan tentang penyakit meningitis dan pengobatan-pengobatan untuk penyakit kanker. Buku ini juga menjelaskan mengenai penyakit dari parasit Ascaris, Enterobius, Tapeworms, dan Cacing Guinea.
Sejak dipublikasikannya buku The Canon of Medicine bagian ketiga ini, Rumah Sakit Bimaristan, Damaskus, dibuat dengan ruangan yang terpisah-pisah untuk penyakit tertentu. Jadi, orang-orang dengan penyakit menular dapat dijauhkan dari pasien lain yang tidak mempunyai penyakit menular.
4. Buku Keempat dan Kelima
Buku keempat dari The Canon of Medicine menjelaskan mengenai penyakit khusus yang memengaruhi seluruh tubuh, contohnya demam. Sedangkan buku kelima yang diberi judul Formularium, membahas sekitar 650 obat-obatan majemuk dan menghubungkannya dengan pendapat para ahli yang berasal Arab, Yunani, dan India.
Ibnu Sina juga menambahkan komentarnya sendiri yang menyoroti tentang perbedaan antara resep-resep dari sumber yang berbeda. Ia juga menambahkan beberapa resep dari dirinya sendiri.
Baca juga: Biografi Ahmad Yani, Pahlawan Revolusi yang Cemerlang di Bidang Militer Sejak Muda
Kontroversi Ideologi Ibnu Sina
Banyak beredar informasi yang berbeda jika membahas tentang aliran Ibnu Sina. Ada yang mengatakan bahwa Ibnu Sina Syiah karena ayahnya seorang penganut Ismailiyah.
Namun, ada juga yang terang-terangan menghakimi Ibnu Sina seorang atheis (tak percaya Tuhan) sampai-sampai melarang anak-anak diberi nama Ibnu Sina. Sebabnya, kata mereka, Ibnu Sina berpendapat bahwa bumi lebih dulu tercipta dari Tuhan.
Masih menurut kabar yang beredar, Ibnu Sina yang terlahir sebagai muslim dipuji-puji media non Islam agar orang muslim yang tertarik membaca teori Filsafat Ibnu Sina menjadi rusak akidahnya.
Ingin tahu tentang yang sebenarnya terjadi? Berikut biografi Ibnu Sina yang memuat ringkasan wawancara terhadap Profesor Mulyadhi Kartanegara, pengajar di Universitas Brunei Darussalam, yang kami kutip dari situs Alif.id.
1. Bukan Syiah
Meski banyak kabar tentang ke-Syiah-an Avicenna seperti yang sudah kami kemukakan di atas, Profesor Mulyadhi Kartanegara memberikan pernyataan yang berbeda. Menurut sang profesor, dalam biografi Ibnu Sina yang berjudul Uyunul Anba fi Thabaqatil Athibba karya Abu Ubaid Al Juzjani, rekan kerja Ibnu Sina, tak ditemukan pernyataan yang menyatakan Ibnu Sina penganut Syiah atau tidak.
Laki-laki yang dikenal tidak pernah menikah hingga akhir hayatnya ini sulit diketahui catatan mengenai kehidupan pribadinya. Satu-satunya sumber dari otobiografi yakni catatan yang didiktekan pada anak didiknya, al-Juzjani.
Memang, ia sering datang ke rumah ayahnya yang mengikuti aliran Ismailiyah. Namun, ia sama sekali tak setuju dengan konsep para penganut Ismailiyah tentang jiwa. Menurut Profesor Mulyadi, mungkin Avicenna sengaja menyembunyikan ideologinya agar bisa merangkul semua kalangan.
Lagipula, memang banyak tokoh bukan Syiah yang diklaim sebagai penganut Syiah oleh orang-orang Syiah sendiri. Jalaluddin Rumi contohnya, penyair sufi asal Balkh tersebut juga diklaim sebagai Syiah, padahal sebenarnya merupakan pengikut Asy’ari. Jadi, jangan hanya karena ia menulis kitab dalam bahasa Persia, kemudian langsung dicap sebagai orang Syiah.
Baca juga: Biografi Albert Einstein, Sang Penemu Teori Relativitas
2. Bukan Atheis
Tentang kabar yang beredar bahwa Ibnu Sina menyatakan alam muncul lebih dulu daripada Tuhan, Profesor Mulyadi juga memberi klarifikasi yang jelas. Menurut sang profesor, tak ada buku Ibnu Sina yang menyatakan bahwa alam ada lebih dulu ketimbang Tuhan.
Ibnu Sina menyatakan bahwa alam adalah mumkinul wujud, sedangkan Tuhan sifatnya wajibul wujud. Dikatakan mumkinul wujud karena alam mungkin wujud tetapi tidak bisa mewujudkan dirinya sendiri. Oleh sebab itu, alam membutuhkan Tuhan sebagai wajibul wujud untuk mewujudkan keberadaannya.
Alih-alih menafikan keberadaan Tuhan, menurut Profesor Mulyadi, Ibnu Sina justru membantu untuk membuktikan secara rasional mengenai keberadaan Tuhan. Karena dari pernyataan Ibnu Sina dapat disimpulkan bahwa Tuhan adalah sebab, sedangkan alam adalah akibat.
Tidak Menikah
Tokoh cendekiawan lain mungkin memiliki kisah asmara yang sama manisnya dengan orang-orang pada umumnya. Namun, tidak demikian dengan Avicenna. Jika penasaran dengan sebabnya, berikut sudah kami rangkum di biografi Ibnu Sina ini.
Sebagai seorang cendekiawan yang sangat suka mempelajari berbagai bidang ilmu dan menolong orang lain dengan ilmunya, Ibnu Sina seolah tak memiliki waktu untuk dirinya sendiri, bahkan untuk memiliki istri sekalipun. Sebab, di saat siangnya, ia akan sibuk mengobati orang, sedangkan waktu malamnya diisi dengan belajar dan menulis.
Ketika ditanya oleh temannya, mengapa ia terus-menerus melakukan hal-hal tersebut, Avicenna memberikan jawaban yang menyentuh hati. Ya, ia lebih memilih hidup pendek bermakna dan bermanfaat dibanding hidup lama yang hampa.
Meninggalnya Bapak Kedokteran Modern
Selama 10 hingga 12 tahun sisa hidupnya, Avicenna bekerja untuk Muhammad bin Rustam Dushmanziyar, sang penguasa Kakuyid yang juga dikenal dengan julukan Ala Al Daula. Avicenna berperan sebagai dokter sekaligus penasihat sastra dan ilmiah umum. Bahkan ia juga sering menemani Ala Al Daula berkampanye.
Namun, menjelang akhir hidupnya, Avicenna menderita penyakit kolik hingga tak dapat berdiri. Ia menolak menjalani berbagai pengobatan dan memutuskan pasrah dengan penyakitnya.
Sembari menunggu saat-saat kematiannya, Avicenna membagi-bagikan hartanya pada fakir miskin, membebaskan budak-budaknya, dan mengkhatamkan Alquran tiap tiga hari hingga akhirnya meninggal pada 21 Juni 1037 di Hamadan, Iran.
Baca juga: Biografi Steve Jobs, Sosok Pendiri Apple yang Memiliki Ambisi Luar Biasa
Pelajaran yang bisa Diambil dengan Membaca Biografi Ibnu Sina
Itu tadi adalah biografi Ibnu Sina lengkap, mulai dari latar belakang keluarganya, karyanya yang terkenal, ideologinya, hingga akhir hayatnya. Apakah Anda sudah merasa puas dengan sajian kami?
Banyak pelajaran yang bisa dipetik dengan membaca biografi Ibnu Sina ini. Salah satunya, mungkin Anda akan termotivasi untuk belajar dengan giat agar menjadi orang yang hebat seperti Ibnu Sina. Selain itu, untuk Anda yang beragama muslim, barangkali akan terinspirasi dengan sosok Avicenna yang tak hanya cerdas, tapi juga taat beragama.
Nah, jika Anda ingin mendapatkan inspirasi dari biografi tokoh-tokoh selain Ibnu Sina, terus simak PosBagus.com. Selain mengenai tokoh-tokoh, ada juga informasi menarik lain, seperti tentang wisata, kuliner, dan masih banyak lagi.