
Sumber: Wikimedia Commons
Al Farabi adalah filsuf Islam pertama yang mempelajari filsafat Yunani klasik. Bahkan, ia dijuluki sebagai The Second Master atau Guru Besar Kedua setelah Aristoteles. Kalau ingin mengenal sosoknya lebih dekat, simak biografi Al Farabi di artikel ini.
- Nama Asli
- Abu Nasir Al Farabi
- Nama Terkenal
- Al Farabi, Abu Nasr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tarkhan Ibn Uzalah Al Farabi, Alpharabius, Al Farabi, Farabi, Abunasir
- Tempat, Tanggal Lahir
- Faryab, 870 Masehi
- Meninggal Dunia
- 950 Masehi
Ada banyak sekali cendekiawan Islam yang terkenal hingga ke negara-negara Barat, salah satunya adalah Al Farabi. Selain mempelajari tentang ilmu-ilmu filsafat yang sudah Al Farabi tuliskan, Anda juga perlu mengenal kehidupan pribadinya melalui biografi ini.
Al Farabi adalah filsuf Islam pertama yang mendalami filsafat Yunani klasik karya Aristoteles dan Plato. Kemudian, ia membandingkan dan menggabungkan ilmu tersebut dengan filsafat Islam. Ia pun akhirnya dikenal sebagai salah satu filsuf kaliber dunia dan dijuluki Guru Besar Kedua setelah Aristoteles.
Menariknya, Ibnu Sina disebutkan tidak bisa memahami buku Metafisika karya Aristoteles. Melalui buku Al Farabi yang berjudul Tahqiq Ghardh Aristhu fi Kitab ma Ba’da Ath-Thabi’ah, Ibnu Sina akhirnya bisa memahami uraian-uraian dari Aristoteles itu.
Ingin mengetahui lebih lanjut seputar filsuf Islam pertama dan paling disegani yang satu ini? Langsung saja simak biografi Al Farabi yang sudah kami siapkan di sini. Anda tak hanya bisa membaca tentang kehidupan pribadinya, tapi juga hasil-hasil pemikirannya. Selamat membaca!
Kehidupan Pribadi
Sebenarnya, tak mudah membicarakan tentang kehidupan pribadi Al Farabi dalam biografi ini. Alasannya karena ia tidak pernah menuliskan autobiografinya. Tidak seperti Ibnu Khaldun yang menulis sendiri autobiografinya atau Ibnu Sina yang mendiktekan autobiografinya pada sang murid kesayangan, Al Juzjani.
1. Asal Usul
Ada berbagai macam teori yang membahas seputar asal usulnya. Pada abad pertengahan, ahli sejarah Arab bernama Ibnu Abi Syaibah dan Muhammad ibnu Mahmud Al Sahruzi menyatakan kalau keluarga Al Farabi berasal dari Persia.
Namun, Ibnu An Nadim menyatakan kalau Al Farabi berasal dari Faryab, Turkmenistan (kini bernama Kazakhstan). Keterangan tersebut diperkuat oleh penjelasan Yahya ibnu Adi, murid terdekat Al Farabi.
Pada teori lainnya, seorang ahli sejarah bernama Ibnu Khallekan menyebutkan kalau Al Farabi lahir di sebuah desa kecil bernama Wasij, Turki. Teori tersebut disebutkan juga di Encyclopedia Britannica.
Al Farabi dikenal juga dengan nama Abu Nasir Al Farabi. Bahkan, beberapa sumber akan menyebutkan namanya sebagai Abu Nasr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tarkhan Ibn Uzalah Al Farabi, Alpharabius, Al Farabi, Farabi, atau Abunasir.
Konon, ia lahir pada tahun 870 M atau 257 H. Ia menghabiskan masa kanak-kanaknya di Faryab. Ayahnya merupakan seorang tentara Turki keturunan Persia, sementara ibunya asli berasal dari Turki.
2. Pendidikan
Sejak kecil ia diceritakan memiliki kecerdasan yang cukup istimewa. Setiap pelajaran yang ia pelajari selalu bisa dikuasai dengan mudah. Beberapa di antaranya adalah tata bahasa, kesusasteraan, ilmu agama (fikih, tafsir, hadis, dan Alquran), dan aritmetika dasar.
Bahkan, berdasarkan keterangan Munawir Sjadzali dalam bukunya berjudul Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Al Farabi bisa berbicara dalam tujuh puluh macam bahasa sejak muda. Akan tetapi, bahasa yang ia kuasai dengan aktif hanyalah empat bahasa, yaitu Arab, Persia, Turki, dan Kurdi.
Setelah menyelesaikan pelajaran dasar di kampung halamannya, ia hijrah ke Bukhara untuk mempelajari ilmu fikih dan ilmu lainnya. Saat itu, Bukhara merupakan ibu kota dan pusat pendidikan juga agama bagi Dinasti Samaniyah yang menganggap dirinya sebagai bangsa Persia.
Pada masa itulah, Al Farabi mulai mengenal dan mendalami budaya serta filsafat Persia. Di sana, ia juga mulai mempelajari musik.
Ketika hijrah ke Harran, ia mendalami ilmu logika Aristotelian serta filsafat. Ia juga mulai membaca teks-teks dasar logika Aristotelian, termasuk Analitica Posteriora yang belum pernah dipelajari oleh orang islam lain.
Sekitar tahun 910–920 M, Al Farabi mulai memiliki ketertarikan untuk mempelajari alam semesta dan kehidupan manusia. Ia pun berusaha untuk menggali ilmu filsafat kuno, termasuk karya-karya Plato dan Aristoteles.
Dengan kecerdasannya, ia bahkan menggabungkan ilmu filsafat dari dua filsuf besar itu dengan pengetahuan yang didapatkan dari Alquran. Penggabungan itu mendapatkan bantuan dari seorang filsuf ternama di Baghdad yang bernama Abu Bishr Matta ibnu Yunus. Saat itu, ia juga mendalami tata bahasa dan linguistik bahasa Arab, ilmu aritmatika, fisika, kimia, medis, astronomi, dan musik.
Baca juga: Biografi Sultan Hasanuddin, Raja yang Membawa Kerajaan Gowa Menuju Masa Keemasan
Pengembaraan Al Farabi
Rasa ingin tahunya akan ilmu pengetahuan membawanya melakukan perjalanan ke beberapa negara, seperti Bukhara, Bahgdad, Suriah, dan Mesir. Pada biografi Al Farabi ini, kami akan membahas sedikit sekitar pengembaraan yang dilakukannya.
Di Baghdad, ia mempelajari bahasa Arab dari Abu Bakar Al Saraj dan mempelajari filsafat dari Abu Bisyr Mattius Ibnu Yunus. Pada tahun 920 M, ia mengembara ke Kota Harran yang terletak di sebelah utara Suriah. Harran sendiri saat itu merupakan pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil. Di sana, ia mempelajari filsafat dari seorang filsuf Kristen terkenal bernama Yuhana ibnu Hailan.
Sesudahnya, Al Farabi kembali ke Baghdad bersama guru filsufnya untuk mendalami filsafat dan memasukkan ilmu logika dalam kebudayaan Arab. Pada tahun 942 M, Al Farabi pindah ke Aleppo karena situasi politik yang memburuk. Di sana, ia bekerja sebagai penjaga kebun selama dua tahun.
Al Farabi melanjutkan kembali pengembaraannya ke Damaskus pada tahun 946 M. Di sana, ia bertemu dengan Kepala Distrik Aleppo bernama Saif Al Daulah Al Hamdani. Karena sang kepala distrik terkesan dengan kemampuan Al Farabi dalam berbagai macam hal, ia pun menawari sang filsuf untuk tinggal di istananya dan diberikan jabatan sebagai penasihat istana.
Meskipun memiliki kedudukan di istana, ia tetap hidup sederhana. Ia juga lebih sering menggunakan gajinya untuk beramal.
Baca juga: Biografi Moh Yamin, Tokoh Penting di Balik Lahirnya Sumpah Pemuda dan Pancasila
Karya-Karya
Sumber: Wikimedia Commons
Sebagai seorang filsuf Islam terbesar, ia memiliki banyak karya dalam berbagai bidang. Mulai dari ilmu bahasa, matematika, kimia, astronomi, musik, ilmu alam, fikih, militer, hingga kenegaraan.
Namun, tidak banyak karyanya yang diketahui oleh masyarakat luas karena kebanyakan karyanya adalah risalah atau karangan pendek. Beberapa judul karyanya akan kami bahas di biografi Al Farabi ini.
Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah Al Jam’u Baina Ra’yay Al Hakimain Aflathun wa Aristhu. Karya tersebut menggabungkan pemikiran Plato dan Aristoteles.
Karya selanjutnya yang paling terkenal adalah Tahqiq Ghardh Aristhu fi Kitab ma Ba’da Ath-Thabi’ah. Buku yang menjelaskan tentang tujuan dan maksud metafisika Aristoteles itulah yang membuat Ibnu Sina dapat mendalami ilmu filsafat.
Selain itu, ada sebuah karyanya yang paling terkenal, yaitu Ihsa Al-Ulum wa At-Ta’rif bi Aghradita. Buku tersebut merupakan kumpulan berbagai macam ilmu seperti ilmu bahasa, matematika, logika, fisika politik, hukum, dan ketuhanan. Meskipun mencakupi ilmu yang sudah dibahas di buku-buku sebelumnya, tetapi karya yang satu ini menjadi terkenal karena menggabungkan dengan ilmu fikih (hukum Islam) dan aqidah (ilmu kalam).
Karya-karya Al Farabi lainnya berjudul Syarah Risalah Zainun Al-Kabir Al-Yunani, At-Ta’liqat, Risalah fima Yajibu Ma’rifat Qabla Ta’allumi al-Falsafah, Kitab Tahshil As-Sa’adah, Risalah fi Itsbat Al-Mufaraqah, Uyun Al-Masa‘il, Ara’ Ahl Al-Madinah Al-Fadhilah, Maqalat fi Ma’ani Al-Aql, Fushul Al-Hukm, Risalat Al-Aql, As-Siyasah Al-Madaniyah, Al-Masa’il Al-Falsafiyah wa Al-Ajwibah Anha, dan masih banyak lagi.
Baca juga: Biografi Nelson Mandela, Pejuang Gerakan Anti-Apartheid yang Disegani Dunia
Hasil Pemikiran
Dengan kecerdasannya, Al Farabi menghasilkan banyak hasil pemikiran yang terkenal hingga sekarang. Agar Anda bisa mengetahui tentang hasil pemikirannya, kami akan sedikit membahasnya di biografi Al Farabi ini.
1. Pemikiran tentang Filsafat Dasar
Menurut Al Farabi, filsafat merupakan Al Ilmu bilmaujudaat bima Hiya Al Maujudaat atau ilmu yang menyelidiki hakikat dari segala hal. Seputar ilmu filsafat, ia berhasil menggabungkan dasar-dasar filsafat dengan ilmu agama Islam.
Ia banyak dipengaruhi oleh Aristoteles dalam ilmu logika dan fisika, sementara seputar ilmu akhlak dan politik, ia mendapatkan banyak pengaruh dari Plato. Tidak seperti filsuf lain yang selalu membanding-bandingkan filsafat Plato dan Aristoteles, ia justru menyebutkan tidak ada pertentangan antara kedua filsuf besar tersebut. Karena sering menggabungkan beberapa ilmu filsafat, Al Farabi juga dikenal sebagai filsuf sinkretisme.
2. Pemikiran tentang Metafisika
Metafisika merupakan cabang filsafat yang membahas tentang hubungan antara hal yang tak terlihat dan kenyataan, contohnya adalah antara jiwa dan tubuh. Pada pemikiran ini, Al Farabi banyak menghubungkan filsafat dengan masalah ketuhanan.
Menurutnya, sesuai dengan pemikiran Aristoteles dan Neo Platonisme, Tuhan memiliki sifat Al Maujud al Awwal atau sebab pertama bagi segala yang ada. Hal tersebut tentu saja tidak bertentangan dengan sifat keesaan Allah Swt. yang diajarkan dalam agama Islam.
Selain itu, dalam pembuktian keberadaan Tuhan, ada dua dalil yang dipegang oleh Al Farabi, yaitu Wajib al wujud dan Mumkin al wujud. Wajib al wujud berarti kalau bentuknya harus ada, muncul dengan sendirinya, kemudian bentuknya sama dan satu. Sementara Mumkin al wujud bermakna kalau bentuknya tak akan berubah tanpa adanya wujud yang menguatkan.
Baca juga: Biografi Tan Malaka, Pahlawan Nasional Indonesia yang Dieksekusi Tentara Bangsanya Sendiri
3. Pemikiran seputar Negara
Salah satu hasil pemikiran Al Farabi yang paling terkenal adalah tentang kenegaraan. Pemikiran tersebut banyak dipengaruhi dari Plato, Aristoteles, dan Ibnu Rabi.
Pendapat utamanya menyebutkan kalau makhluk sosial memiliki kecenderungan hidup bermasyarakat. Oleh karena itu manusia tidak akan bisa memenuhi kebutuhannya sendiri.
Dalam bukunya yang berjudul Al Madinah Al Fadhilah (Kota atau Negara Utama), ia mengibaratkan kalau masyarakat itu bagaikan tubuh manusia. Jika ada salah satu organ tubuh yang sakit, maka bagian tubuh lainnya juga akan merasakannya.
Oleh karena itu, setiap masyarakat harus mendapatkan pekerjaan sesuai dengan kemampuannya. Contohnya adalah kepala negara yang menjadi sumber aktivitas, teladan, informasi, dan petunjuk, layaknya jantung dalam tubuh manusia.
Negara yang baik itu ibarat manusia sehat yang pertumbuhan dan perkembangannya teratur. Sementara negara yang rusak itu kebalikannya, seperti halnya orang sakit yang perlu diobati sesegera mungkin.
Menurutnya, ada tiga jenis orang yang berhak memimpin negara, yaitu filsuf, raja, dan nabi. Ide tersebut kurang lebih dipengaruhi oleh Plato.
Selain tiga jenis tersebut, Al Farabi juga percaya kalau seseorang yang ingin menjadi pemimpin harus memenuhi beberapa syarat. Di antaranya adalah tidak cacat fisik, memiliki daya pemahaman yang baik, memiliki intelektualitas yang tinggi, pandai mengemukakan pendapat, mencintai pendidikan dan pendidik, tidak serakah seputar makanan, minuman, dan wanita, mencintai kejujuran dan membenci kebohongan, berjiwa besar, tidak mementingkan kekayaan dan kesenangan dunia, mencintai keadilan, membenci kezaliman, serta menegakkan keadilan.
4. Pemikiran seputar Musik
Tak hanya banyak dikenal sebagai filsuf dan ilmuwan, Al Farabi juga dikenal luas sebagai seniman. Ia pandai memainkan alat musik dan bisa membuat instrumen musik baru. Bahkan, ia juga menulis sebuah buku seputar musik yang berjudul Al-Musiqa.
Dalam buku tersebut, Al Farabi menyebutkan kalau musik berguna untuk mengarahkan jiwa pendengarnya agar menjadi tenang dan nyaman. Menurutnya, musik dapat memengaruhi moral, mengendalikan amarah, mengembangkan spiritualitas, dan menyembuhkan penyakit.
Akhir Hayat
Sumber: Wikimedia Commons
Hal terakhir yang akan dibahas di biografi Al Farabi ini adalah seputar akhir hayatnya. Ia meninggal pada bulan Desember 950 M atau Rajab 339 H di Damaskus, Suriah. Saat itu merupakan masa pemerintahan Khalifah Al Muthi’.
Jenazahnya dimakamkan di luar gerbang kecil (Al Bab Al Saghir) bagian selatan Kota Damaskus. Konon, Saif Al Daulah sendiri yang memimpin dan menyampaikan pidato pada upacara pemakaman Al Farabi.
Nilai-Nilai yang Bisa didapatkan dari Biografi Al Farabi
Itulah dia biografi Al Farabi yang sudah kami rangkumkan daalm artikel ini. Anda bisa membaca tentang kehidupan pribadinya, pendidikan yang ia pelajari, karya-karya yang sudah ia buat, hingga akhir hayatnya.
Adakah nilai-nilai yang bisa Anda dapatkan dari artikel di atas? Apakah Anda juga bisa merasakan semangat belajarnya yang menggebu-gebu?
Sejak muda, Al Farabi memiliki semangat belajar yang sangat tinggi. Bahkan, ia tak akan ragu hijrah ke beberapa kota untuk mendatangi guru terbaik dan mendapatkan ilmu yang ingin dipelajarinya.
Hal tersebut seharusnya bisa menjadi motivasi dan semangat jika Anda ingin mempelajari sesuatu. Jangan merasa ragu jika harus pergi jauh dari rumah, selama bisa mendapatkan ilmu yang bisa berguna sepanjang masa.
Kalau ingin mencari biografi tokoh-tokoh yang menginspirasi seperti halnya Al Farabi, simak kanal Tokoh di PosBagus.com ini. Di sini kamu bisa mendapatkan biografi orang-orang ternama seperti Ernest Douwes Dekker, Pangeran Antasari, Sapardi Djoko Damono, dan masih banyak lagi.